KUHAP Baru 2026: Antara Harapan Indonesia Emas dan Kekhawatiran Era Otoritarian
KUHAP baru 2026 bisa menjadi instrumen emas bagi keadilan, atau justru menjadi kunci pembuka pintu otoritarianisme modern di Indonesia — tergantung siapa yang memegangnya.
Ya, kedengarannya dramatis. Tetapi banyak aktivis hukum dan analis sosial menggunakan istilah pedang bermata dua saat merespons kebijakan ini. Bukan karena pasalnya ekstrem, melainkan karena kekuatan eksekusinya.
Kronologi Pengesahan KUHAP Baru: Pembahasan Cepat, Publik Tidak Tahu, DPR Tiba-tiba Paripurna
Salah satu hal yang muncul dari berbagai tanggapan publik adalah pertanyaan panjang tanpa jawaban:
Kenapa tiba-tiba disahkan tanpa sosialisasi nasional yang jelas?
Menurut narasi dari banyak pengamat, KUHAP mulai dibicarakan sejak 2024, dibahas formal di awal 2025, dan kemudian:
- Aliansi sipil tidak diundang
- Sidang berjalan tertutup
- Diskusi dianggap terburu-buru
- Tiba-tiba DPR mengajukan paripurna dan ketok palu
Skeptis? Mungkin.
Tapi fenomena seperti ini bukan hal baru dalam proses legislasi nasional — dan itulah yang membuat sebagian masyarakat merasa tidak heran, namun tetap gusar.
Isi KUHAP Baru 2026: Wewenang Penegak Hukum Diperluas — Penyadapan, Penahanan, Penyitaan Tanpa Pengadilan
Ada hal yang menarik ketika membaca draft KUHAP baru 369 pasal + 40 halaman penjelasan.
Secara struktur, tidak ada pasal yang terasa mengancam bagi warga yang hidup normal tanpa konflik hukum. Tetapi isu penting muncul di konteks eksekusinya.
Beberapa poin krusial:
Penyadapan Diperbolehkan (Pasal 136 KUHAP Baru 2026)
Penegak hukum dapat melakukan penyadapan terhadap siapa pun yang diduga terlibat tindak kriminal, bahkan sebelum status tersangka.
Penangkapan dan Penyitaan Tanpa Putusan Pengadilan (Pasal 5, 93, 94)
Polisi, Kejaksaan, dan TNI Angkatan Laut berwenang:
- Menggeledah
- Menahan
- Menyita
- Memblokir akun bank
- Menutup konten digital (YouTube, media sosial, website)
Bahkan sebelum ada keputusan pengadilan.
Dampak KUHAP Baru Pada Aktivis HAM dan Kebebasan Sipil
Beberapa lembaga masyarakat sipil mengkhawatirkan skenario ini:
Aktivis mengkritik kasus korupsi → dilaporkan → status diduga → rekening diblokir → akses hukum terputus → tidak bisa membela diri.
Sebuah loophole muncul: KUHAP bisa menjadi alat anti-korupsi paling efektif, tetapi juga bisa menjadi alat membungkam suara publik.
Sudut Pandang Berbeda: KUHAP Baru Bisa Menghabisi Koruptor Lebih Cepat
Jika melihat skenarionya dari kacamata optimisme:
- Blokir rekening sejak tahap dugaan
- Pemeriksaan keuangan otomatis
- Sulit menyuap aparat atau merekayasa pasal
Satu kalimat kunci yang muncul dari banyak pembicaraan:
Hukuman mati bagi koruptor justru lebih mudah dinegosiasi dibanding hukuman pemiskinan.
Sebab jika seseorang sudah miskin:
- Tidak bisa membeli pengacara mahal
- Tidak bisa menyogok
- Tidak bisa mengatur opini publik
- Tidak bisa kabur ke luar negeri
Indonesia Emas 2045 bukan slogan, melainkan kemungkinan.
Siapa Eksekutornya?
Beberapa analis politik menyoroti arah kebijakan Presiden terpilih.
Lingkaran inti kekuasaan didominasi latar belakang militer. Undang-undang TNI terbaru memperluas keterlibatan dalam urusan sipil. Polisi justru mengalami penyempitan wewenang
Sementara lembaga seperti KPK memiliki keterbatasan menyentuh anggota TNI, sehingga ketika KUHAP memperluas kewenangan tanpa pengawasan yang kuat, muncul tanda tanya yang tak bisa diabaikan:
Apakah ini awal era supremasi militer di ranah sipil?
UU Pemaafan (Restorative Justice) dalam KUHAP Baru 2026: Keadilan atau Celah Penyalahgunaan?
Ada sisi kemanusiaan yang kuat:
- Kasus seperti nenek mencuri singkong
- Konflik kecil yang seharusnya tidak masuk pengadilan
Dengan KUHAP baru, hakim dapat memutus berdasarkan kemanusiaan, bukan teks kaku undang-undang.
Namun ada risiko ekstrem:
- Pelaku kejahatan kelas berat
- Koruptor
- Aparat bermasalah
Bisa mendapat hukuman ringan hanya karena bersikap baik di persidangan.
KUHAP 2026 adalah Pertaruhan Besar Bangsa
Jika yang menjalankan hukum:
- Moral Aparat
- Dampak KUHAP
- Baik, adil, transparan
Indonesia bisa menjadi negara hukum modern dengan sistem penegakan canggih
Buruk, politis, represif
Negara bisa meluncur menuju otoritarianisme legalistik dengan wajah demokrasi
Jadi, pertanyaan sebenarnya bukan bahaya atau tidak bahaya?
Siapa yang memegang palu hukumnya?
Artikel ini bukan alarm, tetapi pengingat bahwa KUHAP baru 2026 bukan sekadar aturan — melainkan arah masa depan Indonesia.

Comments
Post a Comment