Krisis Industri Rokok Indonesia
Kejatuhan saham hingga ke level Rp8.000-an per lembar dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa industri yang pernah menjadi raksasa ekonomi ini tengah memasuki fase yang jauh dari kata ideal.
Sementara banyak yang menyimpulkan masalah tersebut sekadar berasal dari lemahnya penjualan, fakta yang lebih kompleks justru bermula dari kebijakan negara yang tidak terencana, respons yang reaktif, serta minimnya antisipasi terhadap dampak kebijakan itu sendiri.
Inilah inti dari fenomena yang kini dianggap sebagai deindustrialisasi prematur Indonesia—sebuah kondisi ketika industri-industri utama justru merosot di saat negara lain sedang tumbuh.
Mengapa Raksasa Rokok Bisa Ambruk?
Jika kembali menengok ke bagian yang dianggap sebagai pemicu awal, kinerja perusahaan memang memburuk dalam berbagai aspek. Penjualan turun, produksi melemah, rantai pasokan stagnan, dan proyeksi pembelian tembakau dari petani pun diperkirakan berhenti dalam lima tahun mendatang.
Stok menumpuk, kapasitas produksi tidak terserap, sementara laba bersih merosot hingga 82%. Ketika perusahaan sebesar ini tidak mampu melakukan diversifikasi bisnis seluas kompetitornya, terutama dibandingkan yang agresif masuk ke berbagai sektor, tekanan industri menjadi semakin sulit ditahan.
Pada titik inilah terlihat bagaimana ketergantungan pada satu domain usaha tanpa ekspansi strategis dapat membawa perusahaan besar masuk ke jurang krisis dalam waktu singkat.
Dampak Kampanye Anti Rokok dan Kebijakan Cukai 12% per Tahun
Namun, pengaruh eksternal jauh lebih besar dibandingkan persoalan internal. Selama bertahun-tahun, kampanye anti rokok menjadi salah satu kampanye paling masif yang pernah dijalankan, bahkan lebih dominan daripada kampanye anti narkoba atau anti korupsi.
Hal tersebut bukan hanya hadir dalam bentuk edukasi publik, tetapi juga diwujudkan melalui kebijakan formal: kenaikan cukai 10–12% per tahun, larangan iklan, pembatasan sponsorship, area bebas rokok, hingga peringatan visual yang ekstrem pada kemasan.
Kampanye masif ini menciptakan ketegangan logis: pemerintah menyatakan bahwa rokok merusak kesehatan, tetapi pada saat yang sama justru mengambil hampir setengah dari keuntungan industri rokok melalui cukai. Paradoks kebijakan ini sering disebut sebagai ironi regulasi negara terhadap industri adiktif.
Konsumsi Rokok Naik, Industri Justru Turun
Secara teori, pembatasan dan kenaikan cukai seharusnya menurunkan konsumsi. Namun data menunjukkan sebaliknya: jumlah perokok aktif bertambah sekitar 10 juta orang per tahun. Pada saat perusahaan sah ditekan, pasar justru diambil alih oleh dua kelompok baru: rokok ilegal dan produk vape murah.
Penjualan rokok ilegal telah meningkat signifikan sejak 2016, dan kini jumlah peredarannya mencapai seperempat dari total rokok yang beredar di Indonesia. Produk ini tidak membayar cukai, tidak memenuhi standar, namun diminati karena murah.
Dampaknya langsung terasa: pendapatan negara dari cukai turun, perusahaan resmi merosot, tetapi konsumsi masyarakat justru tidak berkurang. Inilah yang disebut sebagai kegagalan kebijakan publik akibat minimnya antisipasi terhadap respon pasar.
Industri Rokok Ilegal di Indonesia Tahun 2016–2024
Fenomena ini tidak hanya menggambarkan ketidakefektifan regulasi, tetapi juga menunjukkan bahwa negara terlambat mengantisipasi aliran distribusi gelap yang tumbuh di bawah tekanan kebijakan. Ketika rokok legal semakin mahal, masyarakat mencari alternatif murah.
Ketika alternatif murah tidak diawasi, maka pasar gelap meluas. Ketika pasar gelap meluas, pendapatan negara jatuh dan industri resmi runtuh. Semua ini merupakan contoh klasik bagaimana kebijakan reaktif dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang bertolak belakang dengan tujuan awal pembuat kebijakan.
Tidak Adanya Perencanaan & Pola Respons Reaktif Pemerintah
Pada tahap inilah kritik yang lebih dalam muncul: pemerintah dianggap tidak merencanakan kebijakan secara matang, hanya bereaksi terhadap fenomena, dan tidak menilai dampak dari kebijakannya sendiri. Ketiga karakteristik ini terlihat bukan hanya di sektor rokok, tetapi dalam sektor apa pun, termasuk ekonomi digital.
Sebagai contoh, industri content creator sudah berkembang selama lebih dari sepuluh tahun, namun regulasi baru dibuat beberapa bulan lalu melalui pembentukan direktorat khusus. Fenomena ini mirip dengan pola pengambilan kebijakan di sektor rokok: terlambat, reaktif, dan tidak antisipatif.
Belajar dari Model Perencanaan Industri Jepang dan Cina
Sektor otomotif menjadi contoh paling kontras dalam menggambarkan perbedaan pendekatan antara Indonesia dan negara lain. Cina melihat bahwa mustahil mengalahkan Jepang dalam industri mobil berbahan bakar bensin. Maka mereka menciptakan jalur baru: mobil listrik.
Keputusan ini terencana, sistematis, dan diarahkan secara nasional. Ketika Cina akhirnya unggul, Jepang tidak menyalin langkah tersebut. Mereka justru berfokus pada teknologi mobil hidrogen, kembali membuat jalur baru agar tidak bertabrakan secara langsung dengan dominasi Cina.
Polanya jelas: negara maju merencanakan, menciptakan jalur, lalu berinvestasi dalam visi jangka panjang. Indonesia justru mengikuti fenomena yang sedang populer, menyalin regulasi negara lain tanpa uji dampak, dan menjalankan kebijakan tanpa perhitungan terhadap masyarakat yang terdampak—termasuk jutaan petani dan pekerja industri rokok.
Dampak Sosial Cukai Rokok terhadap 4 Juta Petani dan Pekerja Kretek
Ketika cukai dinaikkan dan perusahaan-perusahaan rokok resmi terdesak, dampak sosialnya tidak pernah dihitung secara serius. Padahal ada jutaan petani, pengepul, pedagang, dan pekerja pabrik yang bergantung pada industri ini.
Ketika perusahaan menurunkan produksi, mereka yang pertama kali terdampak. Namun tidak ada kebijakan transisi, tidak ada rencana mitigasi, dan tidak ada strategi alternatif untuk kelompok yang akan kehilangan mata pencaharian.
Inilah yang menyebabkan banyak analis internasional memasukkan Indonesia dalam kategori negara yang sedang memasuki fase deindustrialisasi prematur—penurunan industri di saat seharusnya masih berkembang.
Kampanye Anti Rokok: Tujuan Tidak Tercapai, Dampak Negatif Justru Mendominasi
Jika mempertanyakan apa yang sebenarnya dicapai dari kampanye anti rokok selama lebih dari satu dekade, jawabannya mengejutkan:
— Konsumen rokok tidak menurun.
— Kasus kesehatan akibat rokok tidak turun.
— Pendapatan negara menurun.
— Perusahaan resmi merosot.
— Rokok ilegal meningkat.
— Vape murahan merajalela.
Dengan kata lain, tujuan utama kampanye tidak berhasil, sementara dampak negatif ekonomi dan sosial justru semakin besar.
Akhirnya, yang tersisa adalah pertanyaan besar tentang arah kebijakan nasional. Bila regulasi dilahirkan tanpa rencana, hanya bereaksi terhadap tren global, dan tidak memiliki antisipasi terhadap dampak sampingan, maka wajar bila industri penting jatuh satu per satu tanpa ada strategi pemulihan.
Semoga ke depan pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih terukur, tidak hanya mengikuti tren internasional, tetapi mengutamakan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia sendiri.

Comments
Post a Comment