Propaganda Politik & Isu Ijazah Mulyono
Isu ijazah Mulyono—baik palsu maupun asli—tidak pernah benar-benar dimaksudkan untuk memiliki tujuan akhir. Ia seperti pintu masuk ke industri opini publik yang lebih menguntungkan ketimbang mencari sebuah jawaban final. Ketika sebuah perdebatan terus diulang tanpa konklusi selama bertahun-tahun, itu tanda bahwa ada sesuatu yang berjalan sangat sistematis di balik layar.
Cara kerja propaganda berulang di media sosial Indonesia
Jika dilihat dari pola 2022 hingga 2025, setiap kemunculan isu ijazah selalu terasa *kebetulan* waktunya. Muncul ketika ada demonstrasi yang memanas, menguat saat isu korupsi besar hendak viral, dan tiba-tiba meledak saat ada konflik politik tertentu. Polanya repetitif, nyaris mengikuti model propaganda klasik: isu kecil diperbesar untuk menenggelamkan isu besar.
Dan anehnya, tidak pernah ada pihak yang sungguh-sungguh mengakhiri polemik ini. Padahal, secara logika kekuasaan, itu bisa dilakukan kapan saja.
Narasi Ijazah Dalam Bingkai Propaganda Kosong
Penjelasan paling pas justru datang dari pemikiran Jacques Ellul, seorang filosof Prancis yang meneliti struktur propaganda modern. Menurutnya, propaganda bukan sekadar bohong, tetapi membangun identitas komunal palsu. Orang merasa berada di pihak tertentu, padahal tanpa fondasi pemahaman.
Dan hal itu tampak jelas dalam perdebatan soal ijazah:
* argumen berulang, tetapi isinya kosong
* bukti ditampilkan sebagian, bukan keseluruhan
* kemarahan muncul tanpa data
* pembelaan hadir tanpa kajian ilmiah
Hasilnya? Ribuan video, jutaan komentar, tetapi *nol solusi*.
Dampak Propaganda: Identitas Komunal Tanpa Aksi
Salah satu ciri orang yang terjebak propaganda adalah merasa tahu, padahal tidak melakukan tindakan nyata. Misalnya, seseorang sangat mengidolakan figur publik anti-korupsi, tetapi tidak melakukan hal serupa dalam kehidupan sehari-hari. Identitasnya menjadi kosong—seperti sorakan tanpa aksi.
Fenomena yang sama terjadi pada isu ijazah:
* mereka yang pro sekadar marah
* mereka yang kontra sekadar mengejek
* namun keduanya tidak membawa perubahan apa-apa
Dalam pandangan psikologi sosial, ini bentuk *komunitas maya tanpa orientasi*. Identitas hanya dibangun melalui kemarahan bersama, bukan kesadaran.
Alasan isu politik tertentu dipertahankan bertahun-tahun
Dugaan paling masuk akal: isu ini terlalu menguntungkan untuk dihentikan.
Keuntungan bagi siapa?
* Media → konten selalu ramai
* Konten kreator politik → traffic stabil
* Lembaga survei → data keterbelahan publik
* Partai politik → lebih mudah memetakan kekuatan massa
* Elite tertentu → dapat mengalihkan isu besar
Dan selama masyarakat terus termakan repetisi, isu-isu besar yang seharusnya mendapat perhatian—misalnya pertambangan nikel, kasus korupsi besar, atau kebijakan strategis nasional—menjadi tenggelam.
Contoh propaganda menggunakan data asli namun tidak lengkap
Ellul menyebut bahwa propaganda terbaik bukanlah yang berisi kebohongan total, melainkan fakta yang sudah dipilah. Dalam kasus ini:
* kubu A menampilkan fotokopi atau data administratif
* kubu B menampilkan dokumen tertentu yang dianggap janggal
* keduanya hanya menyajikan *sebagian kebenaran*
Jika fakta yang disampaikan sudah dipotong, maka narasi mudah diarahkan ke dua kutub tanpa pernah mencapai titik tengah.
Efek repetisi berita politik dalam pembentukan opini publik
Salah satu ciri propaganda adalah pengulangan. Dan sejak 2022 hingga 2025, repetisinya sangat konstan:
* muncul lagi setiap ada isu lain ingin naik
* diperkuat dengan judul viral
* dimakan publik tanpa verifikasi
Ketika suatu opini diulang terus, ia berubah menjadi kebenaran rasa—meski bukan fakta.
Kosong di Awal, Kosong di Akhir
Jika misalnya benar terbukti palsu—Presiden sudah lengser, periode sudah berganti, dampaknya minim. Jika terbukti asli—isu selesai begitu saja tanpa perubahan signifikan.
Artinya, perdebatan ini memang dirancang untuk tetap berada di tengah: meramaikan suasana tanpa akhir.
Kesadaran Baru: Jangan Sampai Identitas Kita Hanya Hasil Propaganda
Sebagian besar orang merasa kritis, padahal mereka hanya mengulang argumen dari konten kreator favorit. Ini bentuk modern dari komunitas propaganda: *identitas semu*. Dan ketika identitas dibangun dari kemarahan, masyarakat mudah diadu.
Mungkin justru waktu yang paling tepat untuk bertanya:
Apakah pemahaman kita selama ini benar-benar murni, atau hanya hasil produksi informasi yang diulang?
Refleksi masyarakat terhadap isu ijazah presiden dan propaganda digital
Isu ijazah hanyalah contoh kecil bagaimana opini publik dapat diarahkan ke arah yang kosong. Ia hidup karena ada industri besar yang memeliharanya. Dan selama masyarakat menikmati narasi pengalihan, isu-isu strategis bangsa akan terus tertutup oleh perdebatan dangkal.
Jika ingin berdiskusi lebih lanjut, ruang komentar publik selalu terbuka. Perbedaan pendapat bukan masalah, selama tidak dibentuk oleh propaganda yang isinya bahkan tidak kita sadari.

Comments
Post a Comment