Kontroversi Tugu Mark Up
Pembangunan tugu sering kali lebih mirip alat distribusi anggaran daripada karya seni publik. Dari patung gajah hingga tugu integritas, pola yang tampak nyaris serupa—biaya fantastis, kualitas meragukan, dan transparansi yang samar.
Tugu yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru menjadi monumen keresahan masyarakat.
Fenomena Patung Gajah
Pada 2019, sebuah patung baru dibangun sebagai pembaruan patung era kolonial Belanda. Namun publik dibuat heran karena:
* Patungnya tidak menyerupai gajah: tanpa mata, tanpa telinga, bentuknya abstrak penuh.
* Anggarannya mendekati Rp900 juta.
* Baru beberapa tahun kemudian, patung sudah retak dan rusak, padahal tidak menerima beban fisik.
Ironisnya lagi, patung Belanda yang berusia 129 tahun justru tetap utuh tanpa retakan.
Dalam perspektif seni mungkin bentuknya abstrak, tetapi pengamat lokal menilai wujudnya lebih serupa mamut daripada gajah Asia—hewan lokal Jawa. Pertanyaan besarnya: mengapa desain simbol daerah tidak sesuai dengan fauna setempat?
Daftar Tugu Kontroversial dan dugaan mark up pembangunan monumen daerah
Fenomena patung gajah mungkur bukan satu-satunya. Ada deretan tugu lain yang dinilai kontroversial, mulai dari bentuknya hingga anggarannya:
1. Instalasi Getah Getih – 5 miliar
Terbuat dari bambu, bertahan sebentar, lalu rusak.
Penggunaan dana fantastis pada instalasi yang hanya untuk momentum tertentu menjadi sorotan publik.
2. Tugu Kura-Kura – 15 miliar
Setelah dicek, bagian tertentu menggunakan kardus.
Nilai proyek yang tidak masuk akal membuat masyarakat keheranan.
3. Tugu Integritas – 1,2 miliar
Secara isi mengajak anti-korupsi… tetapi pembangunannya justru terindikasi dikorupsi..
4. Gapura Toronipa – 32 miliar
Bukan bata atau beton, tetapi GRC berkerangka baja minim, sehingga mudah jebol. Alih-alih estetika kota, yang terlihat justru potensi kerugian negara.
5. Tugu Pesut – Rp1,1 miliar
Masyarakat menyebut bentuknya seperti cacing Alaska besar, bukan pesut. Kejanggalan bentuk memunculkan tanda tanya:*apakah desain benar dievaluasi?
6. Patung Yesus – 14 miliar
Dugaan korupsi mengiringi pembangunan patung keagamaan ini. Simbol rohani menjadi korban permainan anggaran.
7. Tugu Bulan Sabit – 2,5 miliar
Bentuknya malah menyerupai helm full-face, bukan bulan sabit.
8. Tugu Anak Melinjo
Biaya mencapai miliaran hanya untuk bentuk sederhana yang tidak menunjukkan efisiensi.
9. Gapura UIN – 3,7 miliar
Hanya gapura, tetapi nilai anggaran mencapai miliaran.
Mengapa Proyek Seni Publik Menjadi Sarang Persoalan?
Jawabannya ada dua: fleksibilitas penilaian seni dan minimnya standardisasi biaya.
Dalam proyek seni, harga dapat berubah drastis karena:
* Estetika bersifat subjektif
* Nilai seni dapat dinaikkan dengan alasan historis atau simbolis
* Pemeriksaan kualitas sulit dilakukan secara teknis
Seseorang bahkan menyebut: Patung yang aslinya Rp30 juta bisa dihargakan Rp1 miliar jika sudah dilegalisasi sebagai seni.
Dengan celah ini, kongkalikong antara pembuat dan pejabat mudah terjadi.
Pola Korupsi Anggaran Tugu dan proyek seni di pemerintah daerah
Modus yang sering muncul antara lain:
1. Mark Up Nilai Seni
Pejabat dan seniman bekerja sama untuk menaikkan nilai proyek. Hasil kemudian dibagi dalam bentuk fee senyap.
2. Penghabisan Anggaran Tahunan
Banyak pejabat bingung menggunakan dana yang turun.
Akhir tahun menjadi musim proyek instan agar laporan menunjukkan serapan 100%.
3. Rapat & Studi Banding yang Tidak Relevan
Anggaran sosial, seperti program bantuan anak atau fakir miskin, kadang terserap oleh:
* Rapat hotel mewah
* Seminar
* Studi banding
* FGD ala kadarnya
Dampak langsung terhadap target program nyaris tidak ada.
Masalah Dasarnya Bukan Tugunya
Masalah terbesar bukan pada bentuk patung yang aneh—tetapi pada mentalitas pejabat yang:
* Tidak memahami tugasnya
* Tidak paham esensi pembangunan
* Mengejar kenyamanan birokrasi
* Menjadikan proyek fisik sebagai jalan pintas “warisan jabatan”
Karena tidak tahu apa yang harus dikerjakan, pembangunan simbol-simbol fisik dipilih sebagai cara paling mudah menunjukkan kinerja.
Kontrol Anggaran Lemah, Hegemoni Kuat
Monumen biasanya dijadikan alat pencitraan. Pemimpin ingin meninggalkan jejak visual bahwa mereka bekerja, terutama bagi masyarakat yang lebih responsif pada simbol fisik. Fenomena ini banyak terjadi di negara berkembang.
Akibatnya:
* Pembangunan esensi (pendidikan, kesehatan, layanan publik) terabaikan
* Pembangunan kosmetik justru diutamakan
* Struktur anggaran menjadi tidak efisien
Jenis Kesalahan Anggaran yang Paling Sering Terjadi
Dalam manajemen pengeluaran pemerintah, dikenal empat istilah umum:
1. Overspending – belanja melebihi kebutuhan
2. Misspending – belanja tidak sesuai tujuan
3. Under-spending – belanja tidak terlaksana
4. Fraud spending – belanja dijadikan sarana korupsi
Proyek tugu kontroversial hampir selalu masuk kategori keempat.
Tugu sebagai Penanda: Bukan Dihancurkan, Tetapi Diingat
Alih-alih merusak tugu, masyarakat cukup mengingat siapa pemimpinnya, bagaimana proses anggarannya, dan apa dampak sosialnya.
Tugu itu menjadi pengingat publik bahwa:
* Pengawasan anggaran harus lebih kuat
* Kepekaan terhadap transparansi penting
* Pajak yang dibayarkan masyarakat harus digunakan secara bijak
Tugu sebagai Cermin Tata Kelola
Dari patung gajah mungkur sampai gapura miliaran, semuanya menjadi bagian dari cerita besar tentang tata kelola dan integritas.
Pada akhirnya, tugu yang kuat bukan terletak pada beton dan baja, tetapi pada niat pemimpin di balik anggarannya.
Jika niatnya benar, karya seni menjadi kebanggaan.
Jika niatnya melenceng, tugu menjadi monumen kegagalan.

Comments
Post a Comment