Serangan Personal, Bukan Gagasan: Potret Cara Berpikir yang Salah Kaprah
Di ruang diskusi publik, kritik seharusnya bertumpu pada ide. Namun realitasnya sering berbalik arah. Alih-alih membedah argumen, sebagian orang justru sibuk menelusuri identitas pembicara.
Fenomena ini kerap muncul dalam berbagai perdebatan yang melibatkan Influencer, di mana label dan spekulasi pribadi lebih ramai diperbincangkan daripada substansi pemikiran yang disampaikan.
Ketika Identitas Mengalahkan Argumen
Pola yang berulang terlihat jelas: diskusi tidak diarahkan pada isi pemikiran, melainkan pada siapa yang berbicara. Seseorang dianggap salah bukan karena argumennya keliru, tetapi karena tidak berasal dari kelompok, simbol, atau latar belakang yang dianggap sah. Dalam kerangka ini, kebenaran tidak lagi diukur dari data, melainkan dari figur.
Kesalahan Logika yang Dianggap Wajar
Dalam dunia filsafat, pola berpikir seperti ini dikenal sebagai *appeal to authority*. Benar dan salah ditentukan oleh otoritas, bukan oleh rasionalitas. Ketika pola ini mengakar, budaya feodal tumbuh subur. Masyarakat terbelah dalam kasta intelektual, di mana sebagian dianggap selalu benar, sementara yang lain otomatis dicurigai.
Akar Masalah: Pendidikan yang Mengikis Nalar Kritis
Salah satu penyebab utama lahirnya cara berpikir sempit adalah sistem pendidikan yang keliru arah. Bukan pendidikan yang membebaskan, melainkan yang membentuk ketergantungan. Peserta didik dibiasakan menerima, bukan mempertanyakan. Bertanya dianggap pembangkangan, skeptis dicap kesesatan.
Ciri Lembaga Pendidikan yang Merusak Pola Pikir
Beberapa karakteristik berikut sering muncul dalam sistem pendidikan yang bermasalah:
* Kultus terhadap individu atau lembaga
Figur tertentu diposisikan seolah suci dan tidak boleh dikritik.
* Moral sepihak
Penghormatan hanya mengalir ke satu arah, tanpa timbal balik.
* Larangan berpikir kritis
Nalar dianggap ancaman, bukan alat pembelajaran.
* Monopoli kebenaran
Pengetahuan hanya sah jika datang dari sumber internal.
* Anti evaluasi objektif
Keberhasilan diukur dengan klaim abstrak yang tidak terverifikasi.
Mengapa Korbannya Justru Peserta Didik?
Ironisnya, individu yang lahir dari sistem seperti ini sering kali kehilangan kemampuan dasar: mengelola emosi, berdialog sehat, dan berpikir mandiri. Mereka diajarkan adab secara semu, tetapi tidak dibekali etika universal. Akibatnya, kemarahan mudah muncul, sementara empati dan rasionalitas tertinggal.
Belajar Mandiri yang Diharamkan
Dalam tradisi pengetahuan modern, kemampuan belajar mandiri merupakan puncak kedewasaan intelektual. Konsep ini dikenal sebagai *heutagogi*, di mana seseorang mampu mencari, mengolah, dan memverifikasi pengetahuan secara independen. Sayangnya, dalam sistem doktriner, belajar mandiri justru dicurigai dan dianggap berbahaya.
Monopoli Pengetahuan dan Ketakutan Terbongkar
Larangan berpikir kritis bukan tanpa alasan. Banyak figur yang diagungkan sejatinya tidak memiliki kapasitas luar biasa. Ketika nalar dibebaskan, ketelanjangan intelektual mereka berpotensi terbuka. Oleh karena itu, doktrin dijadikan tameng, dan skeptisisme dibungkam.
Janji Abstrak sebagai Pengganti Prestasi Nyata
Tanpa capaian yang terukur, sistem seperti ini kerap menutupinya dengan janji metafisik. Keberhasilan tidak dinilai dari keterampilan, etika sosial, atau kontribusi nyata, melainkan dari klaim yang tidak dapat diverifikasi. Peserta didik pun diarahkan untuk pasrah, bukan berkembang.
Keluar dari Gua Gelap
Mengajak korban sistem ini untuk berpikir bebas bukan perkara mudah. Analogi gua gelap menggambarkan kondisi mereka: terlalu lama hidup tanpa cahaya. Ketika nalar diperkenalkan, rasa sakit dan penolakan muncul. Namun proses pembiasaan tetap perlu dilakukan agar mereka mampu melihat realitas secara jernih.
Jalan Panjang Menuju Pembebasan Intelektual
Perubahan tidak terjadi seketika. Dibutuhkan kesabaran untuk mengajak masyarakat berpindah dari kultus figur menuju penghargaan pada gagasan. Pendidikan seharusnya melahirkan manusia merdeka secara intelektual, bukan pengikut yang tunduk tanpa nalar. Selama upaya ini terus dijalankan, harapan untuk membangun masyarakat yang kritis, beretika, dan berdaya tetap terbuka.

Comments
Post a Comment