Kepercayaan Publik terhadap Aparat & Budaya Literasi Moral
Masa depan Aparat sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan, literasi moral, dan keberanian institusi untuk mengakui kesalahan secara terbuka. Tanpa itu, jurang antara Aparat ideal dan oknum nakal akan tetap lebar, dan rasa percaya masyarakat akan terus terkikis.
Mengapa Reformasi Moral di Aparat Sangat Mendesak
Kesadaran bahwa kehilangan kepercayaan berarti kehilangan segalanya menjadi fondasi utama pembahasan panjang soal peradaban hukum ini.
Potret Viral Aparat Gadungan & Krisis Kepercayaan
Salah satu titik balik diskusi publik tentang integritas aparat adalah munculnya kasus kakek berseragam Aparat yang mengatur lalu lintas. Bukan Aparat palsu dalam arti kriminal, namun seorang warga yang diminta menggantikan tugas aparat sungguhan yang tidak mau bertugas.
Kasus ini menyebar cepat, memicu gelombang kritik, bahkan memunculkan kembali tagar anti-lapor Aparat di media sosial. Ini menjadi gambaran bahwa kinerja pelayanan publik Aparat sering kali jauh dari harapan masyarakat.
Kasus seperti ini menunjukkan pentingnya transparansi laporan oknum polisi, terutama di era digital ketika kesalahan bisa diketahui publik sebelum institusi sempat merespons.
Apakah Aparat Baik Lebih Banyak?
Survei pernah menyebut 76% masyarakat masih percaya pada Aparat. Namun respons publik di media digital berkata sebaliknya. Banyak yang menyebut pengalaman pribadi lebih buruk daripada apa yang ditampilkan data.
Seorang narasumber dalam diskusi mengaku hanya 1 Aparat baik dari 6 interaksi sepanjang hidupnya. Walau tidak bisa dijadikan statistik absolut, kisah ini menggambarkan kesenjangan persepsi yang signifikan.
Di sisi lain, instruktur Aparat menegaskan bahwa orang baik tetap lebih banyak, tetapi perilaku buruk lebih cepat menjadi viral sehingga memperkuat bias negatif.
Masalah Budaya Literasi Moral di Lembaga Aparat
Menurut pimpinan pelatihan, inti perubahan bukan pada mencari siapa salah atau benar, melainkan pada penanaman literasi moral sejak pendidikan awal. Konsepnya sederhana:
1. Orang dianggap baik sejak awal (nilai awal 100).
2. Bila melanggar, nilainya dikurangi hingga akhirnya tidak layak menjalankan tugas.
3. Pelatihan tidak mengandalkan kekerasan, karena “sekolah dengan kekerasan hanya melahirkan kejahatan”.
Pendekatan ini dikenal sebagai marit system, yang menekankan kesadaran diri, bukan ketakutan terhadap hukuman.
Aparat Dididik dengan Pendekatan Seni dan Budaya
Sebuah pendekatan yang tidak lazim muncul dari Lemdiklat: art policing, yaitu pendidikan karakter melalui seni, budaya, dan pariwisata. Alasannya:
* Seni mengasah hati.
* Cara ini membantu Aparat memahami rasa sakit masyarakat ketika dilukai aparat.
* Lingkungan pendidikan menjadi lebih manusiawi.
* Aparat belajar membangun empati, bukan sekadar patuh pada prosedur.
Hal ini menjadi salah satu strategi pembinaan karakter Aparat modern yang cukup jarang dibahas publik.
Penyusupan Oknum Beli Jalur ke Dalam Institusi
Di banyak daerah, masyarakat sendiri mendorong praktik kotor seperti:
* menitipkan uang agar anak bisa masuk akademi
* mencari jalur belakang demi percepatan karier
* budaya beli jabatan yang diwariskan turun-temurun
Akibatnya, Aparat yang masuk bukan karena panggilan moral, tetapi karena ambisi singkat untuk memiliki pekerjaan tetap. Hal ini menghasilkan Aparat yang:
* malas
* tidak disiplin
* mudah menyimpang
* cenderung mengabaikan keutamaan profesi
Ini juga menjadi isu penerimaan Aparat yang tidak transparan.
Mengakui Kesalahan Secara Terbuka
Aparat seharusnya menjadi pihak pertama yang mengumumkan kesalahan anggotanya secara jujur di media publik.
Keuntungan:
* mengembalikan wibawa institusi
* mencegah rumor liar
* menunjukkan bahwa “oknum” benar-benar disikapi tegas
* membangun empati masyarakat
* menghadirkan rasa keadilan yang lebih nyata
Strategi ini telah diterapkan di beberapa negara sebagai bagian dari police accountability model dan terbukti meningkatkan kepercayaan publik.
Pentingnya Reformasi Kode Etik Aparat dan Kesadaran Publik
Tidak dapat dipungkiri bahwa Aparat adalah cerminan masyarakat. Di bangsa dengan budaya tertib yang tinggi, Aparat biasanya berperilaku baik. Di bangsa dengan budaya melanggar aturan, Aparat sering ikut terjebak perilaku serupa.
Karena itu, reformasi bukan hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga:
* budaya masyarakat
* pola pendidikan keluarga
* tingkat literasi hukum warga
* kualitas dialog antara publik dan aparat
Nilai Dasar yang Perlu Dikembalikan
Menjadi Aparat bukan hanya soal seragam atau gaji. Ini adalah jalan hidup yang memikul tanggung jawab:
* kemanusiaan
* keteraturan sosial
* peradaban bangsa
Ketika Aparat kehilangan integritas, bangsa kehilangan pijakan hukumnya.
Membangun Aparat yang Dicintai, Bukan Ditakuti
Agar masyarakat berhenti berkata lebih baik jangan lapor aparat, maka:
* pendidikan moral harus diperkuat
* oknum harus dibongkar tanpa kompromi
* Aparat wajib hadir melayani, bukan sekadar menegakkan aturan
* dialog publik dan transparansi harus berjalan dua arah
Harapan akan Aparat ideal tidak boleh padam, sebab keberadaan aparat yang dipercaya adalah fondasi dari negara yang beradab.

Comments
Post a Comment