Fakta Deforestasi Sumatera 2025
Membicarakan tragedi banjir besar dan longsor di Sumatera sering kali berujung pada perdebatan mengenai apakah kejadian tersebut murni fenomena alam atau justru bagian dari masalah struktural yang sudah lama diabaikan.
Bencana itu bukan bencana alam, tetapi bencana kemanusiaan akibat deforestasi masif yang melonjak hingga empat sampai lima kali lipat dalam satu tahun terakhir.
Pemahaman ini penting, sebab tanpa melihat penyebab hulunya, solusi apa pun hanya akan menjadi tambal sulam.
Jika menelusuri pola tahun sebelumnya, beberapa daerah memang pernah mengalami curah hujan tinggi, namun banjir ekstrem dengan kayu gelondongan dalam jumlah besar tidak terjadi pada skala sebesar tahun 2025.
Fakta ini memperkuat hipotesis bahwa meningkatnya konversi hutan menjadi lahan industri—baik sawit, tambang, maupun hutan tanaman industri—menjadi pemicu utama rusaknya daerah tangkapan air.
Studi peningkatan deforestasi Sumatera Barat 2024–2025 bahkan menunjukkan kenaikan dari 6.360 hektar menjadi 28.503 hektar hanya dalam 10 bulan. Angka yang mencengangkan untuk sebuah provinsi yang mengandalkan hulu sungai sebagai penyangga kehidupan masyarakatnya.
Lonjakan Deforestasi Sumatera Barat, Aceh, hingga Sumut:
Terlihat jelas bagaimana kenaikan deforestasi berlangsung serempak di beberapa provinsi. Deforestasi Aceh 2025 misalnya, naik drastis ke angka 27.854 hektar dibandingkan 8.962 hektar pada tahun sebelumnya.
Deforestasi Sumatera Utara melonjak dari 7.300 hektar menjadi 18.152 hektar. Bahkan ada kabupaten kecil seperti DPD yang mencatat peningkatan dari 182 hektar menjadi 1.700 hektar—lebih dari sepuluh kali lipat dalam satu tahun.
Ketika hutan di hulu wilayah-wilayah ini digunduli, kemampuan tanah menyerap air menurun drastis. Sedikit saja intensitas hujan meningkat, air akan langsung turun membawa lumpur, batu, bahkan batang pohon besar yang sebelumnya menjadi penyangga ekosistem hutan.
Analisis dampak alih fungsi hutan di daerah resapan air menunjukkan bahwa aktivitas manusia jauh lebih berpengaruh daripada faktor cuaca.
Apalagi, dokumentasi lapangan tahun 2024–2025 dari berbagai aktivis lingkungan memperlihatkan foto-foto kayu gelondongan, area tambang di perbukitan Batangtoru, serta konversi besar-besaran hutan menjadi kebun sawit dan ekaliptus. Semua bukti tersebut menunjukkan bahwa kerusakan terjadi jauh sebelum banjir melanda.
Alih Fungsi Hutan Menjadi Industri
Banyak aktivitas pembalakan tersebut bukan ilegal, tetapi mendapatkan izin resmi. Perusahaan-perusahaan besar memiliki ribuan hingga ratusan ribu hektar lahan di berbagai wilayah Sumatera.
Bahkan BUMN pun tercatat memiliki kontribusi dalam ekspansi perkebunan besar-besaran.
Jika ditelusuri melalui izin Minerba 2025, pemerintah telah mengeluarkan total 1.907 izin aktif yang mencakup 2,45 juta hektar wilayah.
Ditambah lagi, terdapat 271 izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk di kawasan hutan lindung. Ketika izin sebesar ini diberikan tanpa pola pengawasan ketat, degradasi ekosistem menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Ironisnya, masyarakat di hilir yang harus menanggung akibatnya: rumah hanyut, mata pencaharian hancur, infrastruktur rusak, hingga kerugian ekonomi yang tidak pernah diganti oleh pihak yang menikmati keuntungan dari konversi lahan.
Klarifikasi Penyebab Banjir Sumatera 2025
Biasanya, ketika banjir terjadi, narasi resmi yang muncul adalah cuaca ekstrem, siklon, atau perubahan iklim global.
Namun bila perubahan iklim memang penyebabnya, seharusnya banjir dengan pola serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Kenyataannya tidak demikian.
Kenaikan deforestasi mencapai empat hingga lima kali lipat pada tahun yang sama dengan terjadinya banjir besar memperlihatkan korelasi yang terlalu kuat untuk diabaikan.
Dokumentasi visual dari Batangtoru (25–29 Mei 2025) memperlihatkan kegiatan tambang aktif di area perbukitan dan hulu sungai.
Foto-foto lain dari Subulussalam Aceh tahun 2024 menunjukkan konversi total hutan alam menjadi kebun sawit. Dengan kondisi seperti ini, menyebut bahwa kayu gelondongan yang terseret banjir berasal secara “alami” jelas bertentangan dengan realitas di lapangan.
Siapa yang Seharusnya Bertanggung Jawab?
Siapa yang harus bertanggung jawab atas bencana ekologis ini? Jika pembalakan dilakukan secara ilegal, penegak hukum di daerah seharusnya tidak mungkin tidak mengetahui aktivitas sebesar itu. Jika pembalakan dilakukan secara legal, maka pemberi izin adalah pihak yang paling perlu diperiksa.
Semua data deforestasi Sumatera 2025 memperlihatkan pola yang sangat jelas: kerusakan ekosistem terjadi secara sistematis, melibatkan perusahaan besar, dan difasilitasi oleh izin resmi.
Sementara rakyat di hilir justru menjadi korban terbesar tanpa mendapat keuntungan apa pun dari proses perusakan tersebut.
Memahami bahwa banjir Sumatera bukan sekadar fenomena alam, tetapi hasil akumulasi kebijakan dan aktivitas industri, adalah langkah penting untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Tanpa keberanian untuk menindak pelaku perusakan hutan—baik yang memberi izin maupun yang menikmati keuntungan—bencana kemanusiaan semacam ini akan terus berulang.

Comments
Post a Comment