Mengapa Kritik pada Presiden yang Sekarang Terasa Menghilang?



Di tengah riuh demokrasi, ada satu hal yang terasa janggal: sunyinya kritik tajam terhadap pemerintahan Presiden yang sekarang. Jika ditarik mundur beberapa tahun ke belakang, publik terbiasa menyaksikan perdebatan keras, satire politik, hingga kritik terbuka dari tokoh-tokoh publik. Namun kini, atmosfer itu terasa berbeda—lebih tenang, lebih patuh, dan nyaris tanpa konflik terbuka.

Data Represif dan Paradoks Popularitas Presiden Era Reformasi

Ironisnya, kesenyapan ini tidak selalu sejalan dengan data. Laporan lembaga HAM internasional menunjukkan meningkatnya kasus dugaan perlakuan represif aparat sejak era kepemimpinan baru.

Di satu sisi, citra presiden tampak ramah dan mengayomi. Di sisi lain, muncul catatan tentang penahanan, kriminalisasi, hingga intimidasi terhadap warga sipil dan aktivis. Inilah paradoks kekuasaan modern: keras dalam praktik, lembut dalam tampilan.

Membaca Kekuasaan dari Filsafat Politik Machiavellian

Dalam diskursus filsafat politik, gagasan The Prince karya Niccolò Machiavelli kerap dibahas sebagai panduan realistis—bahkan amoral—tentang bagaimana kekuasaan dipertahankan. Intinya sederhana namun tajam: pemimpin perlu mengelola citra di depan publik, bersikap fleksibel di balik layar, dan memastikan kekuasaan tetap aman meski harus mengorbankan idealisme moral.

Jika dicermati, banyak strategi kekuasaan kontemporer yang sejalan dengan prinsip ini: menjadi figur yang tampak baik, sembari mengatur konflik agar tidak pernah mengarah langsung ke pusat kekuasaan.

Strategi “Good Cop–Bad Cop” dalam Politik Kekinian

Salah satu pola yang sering disorot adalah strategi polisi baik dan polisi jahat. Dalam konteks politik, pola ini bekerja melalui penegakan hukum yang keras di awal, lalu diakhiri dengan “pengampunan” dari pemimpin tertinggi. Dampaknya ganda:

1. citra pemimpin meningkat sebagai sosok pemaaf,

2. pesan tersirat tersampaikan—nasib hukum dapat berakhir baik atau buruk tergantung restu kekuasaan.

Efek lanjutan dari strategi ini adalah pembungkaman oposisi secara halus, tanpa perlu represi terbuka yang memicu resistensi publik.

Koalisi Gemuk dan Oposisi yang Melemah

Strategi koalisi besar dalam pemerintahan Prabowo juga menjadi kunci. Lawan politik justru diajak bergabung, diberi ruang, dan disatukan dalam kabinet yang sangat luas. Konsekuensinya jelas: oposisi kehilangan daya tekan, kritik kehilangan saluran, dan parlemen menjadi ruang kompromi alih-alih kontrol.

Ketika semua partai besar berada di lingkar kekuasaan, siapa yang tersisa untuk menyuarakan perbedaan secara institusional?

Musuh Publik sebagai Tameng Kekuasaan

Menariknya, konflik tetap ada—namun diarahkan ke figur-figur tertentu di lingkar pemerintahan. Menteri atau elite tertentu menjadi sasaran kemarahan publik, sementara pusat keputusan tetap aman dari kritik langsung.

Skema ini menciptakan “bumper politik”: kemarahan rakyat berhenti di lapisan luar, tidak pernah menembus inti kekuasaan.

Jinakannya Pemimpin Opini dan Senyapnya Kritik Media

Tokoh-tokoh yang dulu dikenal kritis kini jarang menyuarakan keberatan secara frontal. Nama-nama seperti Rocky atau Najwa masih hadir di ruang publik, tetapi intensitas dan arah kritik terasa berubah.

Dalam banyak kasus, pendekatan personal, dialog tertutup, atau tawaran peran tertentu menjadi alat efektif untuk meredam oposisi tanpa paksaan.

Kediktatoran Tanpa Kekerasan: Wajah Baru Otoritarianisme

Bentuk kekuasaan seperti ini tidak membutuhkan tank di jalanan atau larangan pers secara eksplisit. Kontrol dilakukan lewat manajemen konflik, distribusi kepentingan, dan penguasaan narasi.

Hasilnya adalah stabilitas semu: tampak damai, minim gejolak, namun miskin kritik yang sehat.

Stabilitas atau Bahaya Jangka Panjang?

Pertanyaannya bukan semata apakah kepemimpinan ini baik atau buruk, melainkan seberapa aman demokrasi tanpa oposisi yang kuat. Sejarah politik menunjukkan bahwa kekuasaan yang terlalu senyap sering kali menyimpan risiko jangka panjang.

Demokrasi tidak runtuh oleh kekacauan saja, tetapi juga oleh keheningan yang terlalu rapi.

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Cara Cepat Mahir Mengetik 10 Jari Tanpa Melihat Keyboard – Wajib Tahu Buat Pelamar Call Center & Fresh Graduate!