Kasus Intoleransi Sukabumi & Dinamika Sosial 2025
Kegagalan kelompok tertentu memahami ajaran agama dan hukum negara, yang kemudian berdampak pada rusaknya citra umat sendiri. Bahkan, setelah hiruk pikuknya mereda, publik tetap meninggalkan satu catatan besar: kasus intoleransi Sukabumi 2025 adalah bukti nyata bahwa nalar rendah bisa merusak harmoni sosial dalam hitungan menit.
Yang ironis, bukan hanya pemilik villa yang dirugikan—tapi dakwah Islam, hubungan antarumat, dan reputasi masyarakat Jawa Barat ikut terseret akibat tindakan impulsif beberapa orang.
Rekam Jejak yang Terlupakan: Mengapa Provokator Tak Muncul ke Permukaan?
Polisi memang menangkap beberapa orang, namun tokoh yang menggerakkan massa justru tak terlihat batang hidungnya.
Polanya sama:
Jika ada kerusuhan tetapi arahnya sangat rapi, targetnya jelas, dan durasinya singkat—maka hampir pasti ada komando.
Namun hingga kini, publik hanya melihat wajah-wajah bapak-bapak yang melakukan pengerusakan fisik. Pemain utamanya hilang, seperti setting panggung drama yang lampunya sengaja dipadamkan.
Ketika Tindakan Tak Selaras dengan Ajaran
Jika aksi itu disebut sebagai wujud iman, maka ada kontradiksi besar. Karena:
* Al-Qur’an melarang penghinaan terhadap sembahan agama lain.
* Syariat menolak tindakan main hakim sendiri.
* Nabi menegaskan larangan menyerang nonmuslim yang tidak memerangi.
* Bahkan melawan otoritas pemerintah masuk kategori dosa berat dalam banyak teks klasik.
Jadi secara teologis, yang terjadi bukan ekspresi ketakwaan, melainkan ekspresi nalar yang runtuh.
Tidak mengherankan jika masyarakat luas—muslim dan nonmuslim—merasa jengah. Bahkan ulama moderat pun akhirnya kesulitan berdakwah karena realitas sosial bertentangan dengan ucapan mereka.
Retreat Kristen Sukabumi
Pada 27 Juni 2025, sekelompok warga datang ke sebuah villa tempat rombongan Kristen sedang retreat dan berlibur. Situasinya semestinya damai, namun massa menggeruduk sambil menuduh villa tersebut sebagai gereja ilegal dan tempat kristenisasi.
Padahal faktanya:
* lokasi itu villa biasa
* kegiatan mereka legal
* tak ada upaya menyasar warga sekitar
* semua berlangsung tertib sebelum massa berdatangan
Pengerusakan terjadi. Intimidasi terjadi. Villa rusak. Penghuni ketakutan.
Tiga hari kemudian (30 Juni 2025) Gubernur datang langsung. Barulah proses hukum bergerak. Tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, kemudian bertambah menjadi delapan.
Namun di balik penindakan itu, muncul hal lain yang tak kalah aneh…
Usulan Restorative Justice: Ketika Kejahatan Publik Didorong untuk Dimaafkan
Kementerian HAM kemudian memberikan usulan agar para pelaku mendapatkan restorative justice.
Publik bingung:
Bagaimana mungkin tindakan pengerusakan, intimidasi, dan persekusi lintas agama justru diarahkan untuk diselesaikan lewat pemaafan?
Yang muncul bukan rasa damai—melainkan tanda tanya besar.
Memang keras, namun konteksnya jelas: pelaku termakan hoaks dua kali.
1. percaya villa itu gereja ilegal
2. percaya ada agenda kristenisasi mendadak
Jika analisis sosial digunakan, ini menggambarkan kelompok bermindset rendah yang mudah digerakkan oleh narasi menyesatkan. Bahkan andai mereka membenci umat Kristen sekalipun, strategi mereka salah total.
Karena:
* mereka merusak villa → umat Islam yang malu
* tindakan mereka viral → dakwah terganggu
* pelaku lapangan yang terseret → provokator aman
Sebuah ironi klasik.
Walau publik memuji ketegasan Gubernur, Kita patut memberikan kritik penting:
jangan memakai uang pribadi untuk kasus seperti ini.
Karena:
* perlindungan ibadah adalah kewajiban negara
* kerusakan akibat kegagalan negara menjaga keamanan
* penggunaan uang pribadi bisa dibaca sebagai pencitraan
* atau menjadi bias etis karena bersinggungan dengan jabatan
Dan menariknya, pemilik villa tidak memakai dana itu untuk memperbaiki villa, justru menyumbangkannya ke masjid sekitar. Sebuah gestur yang menampar balik narasi provokatif dari pelaku.
Ormas: Banyak Komentar, Minim Pertanggungjawaban
Dalam dinamika konflik agama, masyarakat berharap Ormas keagamaan memiliki kontribusi moral yang kuat. Namun pola yang berulang terlihat:
* kasus internal: tidak minta maaf
* kasus ekstrem seperti terorisme anggotanya: tidak minta maaf
* kasus korupsi pengurus: tidak minta maaf
* kasus intoleransi umat: tidak minta maaf
Yang muncul hanya imbauan:
jangan terprovokasi.
Padahal berdasarkan AD/ART, salah satu tugas mereka adalah menciptakan perdamaian antarumat. Ketika umat melakukan kesalahan, lembaga yang memandu umat wajib memberikan klarifikasi moral, termasuk permohonan maaf bila relevan.
Tetapi itu tidak terjadi.
Dakwah yang Tersandera oleh Perilaku Segelintir Orang
Sebenarnya, persoalan terbesar dari kasus ini bukan hanya persekusinya. Melainkan dampaknya terhadap narasi besar hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Karena:
* dakwah menjadi lebih sulit
* stereotipe negatif terhadap umat Islam menguat
* ruang dialog antaragama terhambat
* kelompok moderat harus bekerja dua kali lipat
Dan semua ini berawal dari sekelompok kecil orang yang tidak memakai akal sehat maupun ajaran agama.
Pembahasan soal kasus intoleransi Sukabumi 2025 belum benar-benar selesai. Provokator masih misterius. Ormas keagamaan belum berbenah. Pemerintah masih bekerja. Dan masyarakat masih memegang memori pahit tersebut.
Yang pasti, kisah ini bukan hanya tentang villa dan retreat; ini tentang masa depan kerukunan di Indonesia.
Jika harmoni ingin dipertahankan, nalar harus dinaikkan, hoaks harus dipangkas, dan iman harus diterapkan bukan pada teriakan—tapi pada tindakan.

Comments
Post a Comment