Krisis Independensi Ormas Agama Akibat Konsesi Tambang
Dalam lintasan sejarah Indonesia modern, Ormas Agama pernah berdiri sebagai kekuatan sosial keagamaan yang disegani, bukan hanya karena jumlah pengikutnya, tetapi karena keberanian moral dan independensinya.
Pada masa tertentu, terutama ketika tekanan politik begitu kuat, organisasi ini justru tampil sebagai pengimbang kekuasaan, bukan pelengkapnya. Namun, arah itu kini dipertanyakan. Banyak kalangan menilai bahwa terjadi pergeseran mendasar dalam orientasi gerakan, dari penjaga nilai menjadi instrumen legitimasi.
Kejayaan di Era Orde Baru
Jika ditelusuri ke belakang, masa Orde Baru sering disebut sebagai puncak kejayaan Ormas Agama dari sisi keberanian sikap. Di tengah dominasi negara yang represif, suara kritis justru lahir dari kalangan kiai dan aktivis. Prinsip khittah menjadi fondasi utama: bekerja sama dengan siapa pun, tanpa kehilangan kemandirian.
Dalam konteks ini, kritik keras terhadap kekuasaan bukanlah anomali, melainkan ekspresi tanggung jawab moral. Ketika banyak pihak memilih diam, tokoh-tokoh NU justru tampil berani, bahkan saat risiko politik begitu nyata. Independensi bukan slogan, melainkan laku organisasi.
Dari Penentu Arah ke Pemanis Demokrasi
Berbeda dengan masa lalu, wajah dalam politik elektoral kini sering dipersepsikan sekadar simbol legitimasi. Dalam banyak kontestasi pemilu dan pilkada, pendekatan yang dilakukan elite politik cenderung seragam: mendekati tokoh, menghadirkan figur kiai dalam panggung kampanye, lalu menjadikannya ornamen kepercayaan publik.
Dalam praktik ini, kehadiran tidak selalu bermakna substansial. Peran strategisnya mereduksi diri menjadi alat penggalang suara, bukan lagi penjaga moral kekuasaan. Legitimasi sosial diperoleh, tetapi daya kritis justru melemah.
Konsesi Tambang dan Ormas Keagamaan
Isu konsesi tambang bagi organisasi keagamaan memunculkan babak baru dalam diskursus ini. Penyerahan pengelolaan sumber daya alam kepada ormas keagamaan dipromosikan sebagai bentuk keadilan ekonomi. Namun, realitas di lapangan memunculkan pertanyaan serius: siapa yang benar-benar diuntungkan?
Dalam banyak kasus pertambangan, pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penurunan kemiskinan. Justru terjadi paradoks: angka ekonomi meningkat, tetapi jumlah masyarakat miskin bertambah. Situasi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa keuntungan hanya berputar di lingkaran elite, sementara masyarakat lokal menanggung dampak sosial dan ekologis.
Pergeseran Fungsi Sosial Keagamaan
Dalam konteks konflik pertambangan, muncul peran baru yang problematik. Ketika masyarakat menyuarakan kritik, organisasi keagamaan justru tampil sebagai peredam protes. Fatwa, narasi moral, dan stigma ideologis digunakan untuk membungkam oposisi. Kritik lingkungan dialihkan menjadi isu ideologi, seolah keberpihakan pada alam identik dengan penyimpangan akidah.
Di titik ini, agama kehilangan fungsi profetiknya. Alih-alih membela yang lemah, ia justru menjadi tameng bagi praktik yang merugikan masyarakat luas.
Antara Kuantitas dan Kualitas
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apakah kehadiran Ormas Agama di suatu wilayah berkorelasi dengan perbaikan sosial? Apakah kemiskinan menurun? Apakah kejahatan berkurang? Apakah kualitas moral masyarakat meningkat secara signifikan?
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab dengan data yang meyakinkan. Dominasi jumlah pengikut tidak otomatis berbanding lurus dengan transformasi sosial. Ketika perhatian organisasi terserap pada politik dan ekonomi elite, agenda sosial dan pendidikan justru kehilangan prioritas.
Fragmentasi Internal dan Hilangnya Izzah Organisasi
Ketahanan di masa lalu terletak pada soliditas internalnya. Upaya adu domba dari kekuasaan eksternal gagal karena kuatnya identitas kolektif. Namun, kondisi itu tampaknya melemah. Polarisasi internal, konflik kepemimpinan, dan infiltrasi kepentingan asing menunjukkan rapuhnya fondasi yang dulu kokoh.
Kehilangan izzah atau kemuliaan organisasi bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang ketika nilai digantikan oleh pragmatisme.
Stigma Negatif dan Tantangan Moral
Tidak dapat dimungkiri, berbagai kasus kekerasan, penyimpangan, dan konflik horizontal kerap diasosiasikan dengan oknum yang berlindung di balik identitas keagamaan. Ketika kasus-kasus ini berulang, kepercayaan publik pun tergerus. Yang tampak bukan lagi prestasi sosial, melainkan kontroversi yang silih berganti.
Situasi ini menjadi tantangan serius bagi generasi Nahdliyin. Apakah akan terus bertahan dalam pembelaan simbolik, atau berani melakukan introspeksi mendalam?
Kritik sebagai Upaya Rekonstruksi, Bukan Kebencian
Penting untuk ditegaskan bahwa kritik terhadap ormas bukan identik dengan permusuhan. Justru kritik lahir dari harapan agar organisasi ini kembali pada marwahnya sebagai kekuatan moral bangsa. Kekaguman pada tokoh-tokoh besar masa lalu tidak serta-merta menutup mata terhadap realitas hari ini.
Rekonstruksi gagasan, perilaku, dan orientasi menjadi kebutuhan mendesak. Bukan dengan retorika defensif, melainkan dengan kerja nyata yang dapat dirasakan masyarakat luas.
Kembali ke Khittah sebagai Jalan Pembaruan
Ormas Agama memiliki sejarah panjang, basis massa besar, dan modal sosial yang luar biasa. Semua itu dapat menjadi kekuatan transformatif jika diarahkan kembali pada tujuan awal: membina umat, membela keadilan, dan menjaga kemanusiaan.
Kembali ke khittah bukan berarti mundur, melainkan meluruskan arah. Di tengah tantangan zaman, masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa agama bukan alat kekuasaan, melainkan cahaya bagi peradaban.

Comments
Post a Comment