Posts

Showing posts from October, 2025

Fenomena Demo Rakyat Pati dan Cermin Pemerintahan Pusat

Image
Kadang, titik balik sejarah tidak dimulai dari gedung parlemen, tapi dari jalanan berdebu di kabupaten kecil seperti Pati, Jawa Tengah. Akhir yang Sudah Dimulai: Ketika Rakyat Melempar Sandal ke Bupati Sebuah sore yang panas berubah jadi panggung kemarahan rakyat, ketika seorang bupati yang dulu memohon suara kini dihujani botol dan sandal oleh warganya sendiri. Ironi yang tragis tapi satisfying. Yang dilempar bukan sekadar sandal, tapi simbol rasa dikhianati. Sebab mereka yang dulu dijanjikan pengurangan pajak justru dicekik dengan kenaikan pajak 250%. Dan yang paling menyakitkan bukan uangnya, tapi sikap arogan pejabat yang menantang rakyatnya sendiri: Yang demo 5.000 orang? 50.000 pun saya tidak gentar. Rakyat yang Marah, Negara yang Goyah: Tanda-Tanda Krisis Kepemimpinan di Daerah Kemarahan massal di Pati tidak muncul dari ruang kosong. Ia adalah letupan dari penumpukan frustrasi sosial dan politik. Rakyat merasa ditipu oleh orang yang dulu mereka bantu naik. Seseorang yang dulunya...

Fenomena Sound Horeg Jawa Timur

Image
Lucunya, kadang yang paling ribut justru bukan yang paling bahagia. Di tengah sorotan lampu warna-warni dan dentuman bass yang mengguncang dada, ada sisi gelap yang jarang disadari: sound horeg bukan sekadar hiburan, tapi refleksi sosial dan psikologis dari masyarakat yang sedang lelah. Suara Bising, Jiwa yang Sunyi: Mengapa Sound Horeg Begitu Diminati? Dulu, siapa sangka bahwa tren musik keras ini lahir dari kampung-kampung Jawa Timur, lalu menular ke Jogja, Jakarta, hingga Jabodetabek. Dari Malang yang awalnya cuma punya ribuan pengusaha sound system, sekarang fenomenanya menjalar seperti api — menembus sekat kota, menembus kritik, bahkan fatwa. Bisnis Sound Horeg Tumbuh Gila-Gilaan Bayangkan saja — di Malang dan sekitarnya, ada lebih dari 13.000 pengusaha sound system, dan 500 di antaranya bisa membuat karnaval besar tiap bulan. Dalam satu bulan, mereka bisa dapat 20 orderan, dengan tarif 20 sampai 50 juta rupiah per event. Jadi kalau ada yang bilang, orang Jawa suka sound, jangan t...

Fenomena Agamawan Menjadi Ahli Segala Hal

Image
Lucunya, justru di zaman serba digital seperti sekarang, banyak orang masih lebih percaya pada dukun, pendeta, atau ustaz ketimbang dokter dan ilmuwan. Sebuah fenomena klasik yang masih hidup di abad 21. Di beberapa negara berkembang, otoritas agama bisa melampaui batas wajar—menentukan apa yang dianggap sakit, berkah, bahkan patriotik. Dari urusan medis sampai politik, semuanya seolah bisa mereka tafsirkan lewat wahyu pribadi. Ironi Zaman: Ketika Ilmu dan Iman Bertabrakan di Negara Berkembang Padahal, tidak semua yang berserban atau berjubah punya koneksi langsung ke langit. Ada yang justru menabrak logika sains dan etika, tapi tetap disembah sebagai panutan. Suger Robinson: Mimpi dari Tuhan atau Takdir yang Tak Bisa Dihindari? Tahun 1947, legenda tinju Suger Robinson bermimpi ia akan membunuh lawannya, Jimmy Doyle, di atas ring. Ia menolak bertanding karena mimpi itu terasa begitu nyata. Tapi promotor menertawakannya. Bahkan seorang pastor menenangkannya dengan dalih, mimpi itu godaa...

Pajak Naik Serempak & Efisiensi Anggaran Misterius

Image
Uniknya, sebelum publik sempat mencerna kebijakan pajak baru di Kabupaten Pati, daerah-daerah lain justru ikut menyalakan bara yang sama. Ada Pare-Pare yang menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 800%, sementara di Cirebon bahkan tembus 1000%. Tak berhenti di situ, lebih dari 104 daerah di Indonesia disebut melakukan langkah serupa. Sebuah gelombang yang tampak lokal, tapi terasa sangat serempak untuk disebut kebetulan. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan 2025: Fenomena Serempak di 100+ Daerah Pemerintah pusat menegaskan bahwa keputusan menaikkan PBB adalah hak otonomi daerah. Namun, Benarkah semua ini murni keputusan daerah? Kalau pola kenaikannya mirip, waktunya berdekatan, dan alasannya seragam, sulit rasanya menolak kemungkinan bahwa ada dorongan sistemik dari pusat. Efisiensi Anggaran ala Pemerintah: Baik di Kertas, Menyesakkan di Lapangan Benang merahnya menuju satu istilah yang terdengar manis di telinga birokrat — efisiensi anggaran nasional. Presiden disebut melakukan pem...

Fenomena Ternak Mulyono: Antara Sindiran Politik dan Teori Konspirasi di Balik Kekuasaan

Image
Lucunya, istilah Ternak Mulyono baru populer setelah pesta demokrasi usai. Biasanya, ejekan politik muncul di masa kampanye, tapi yang satu ini muncul belakangan — seperti bayangan yang tak mau pergi. Mungkin karena memang ada aroma misteri yang sulit dijelaskan antara kekuasaan, pengaruh, dan permainan opini publik. Namun sebelum bicara jauh, mari balik ke pertanyaan yang lebih filosofis: apakah Ternak Mulyono benar-benar ada atau hanya sekadar simbol yang diciptakan untuk memecah fokus masyarakat dari isu besar lain seperti korupsi, migas, atau pemilu yang tak pernah sepi drama? Asal-usul dan Makna di Balik Istilah Ternak Mulyono Istilah ini lahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul sebagai sindiran kepada pihak-pihak yang dianggap terlalu setia kepada Presiden Jokowi. Para penentang menyebutnya dengan nada menghujat, seolah mereka hanyalah pengikut tanpa arah. Padahal, jika ditelisik, maknanya lebih kompleks daripada sekadar olok-olok politik. Ternak Mulyono kerap disematkan pada men...

Ketika Puisi Kuno Menjadi Peringatan untuk Manusia Modern

Image
Sekitar 4.200 tahun yang lalu, di tanah Mesopotamia yang subur, seorang penyair bernama Atrahasis menulis sebuah puisi yang ternyata lebih relevan dari apa pun yang ditulis manusia modern. Dalam puisinya, ia menggambarkan bagaimana para dewa marah karena manusia terlalu banyak, terlalu berisik, dan terlalu rakus. Maka, datanglah keputusan: bumi perlu “dibersihkan.” Cerita ini mungkin terdengar mitologis, tapi pola pikir di baliknya terasa begitu nyata. Atrahasis bukan sekadar bercerita tentang banjir besar, tetapi tentang kejemuan terhadap keramaian dan ketidakseimbangan populasi. Overpopulasi di Zaman Batu: Masalah Lama dengan Wajah Baru Lucunya, pada masa Atrahasis, jumlah manusia di bumi diperkirakan baru sekitar 25–50 juta jiwa. Tapi di matanya, itu sudah terlalu ramai. Ia melihat Babilonia kuno yang menampung sekitar 100 ribu orang sebagai kota yang sesak, penuh kegaduhan, dan penuh keluhan. Mungkin dari situ lahir ide “penghapusan populasi” lewat banjir besar — sebuah simbol dari...

Cerita Soeharto dan CIA dengan Kudeta Soekarno

Image
Kadang sejarah tidak ditulis dengan tinta, tapi dengan kepentingan. Tahun 1964 sampai 1968, ternyata ada lebih dari 30.000 halaman dokumen rahasia Amerika Serikat yang baru dibuka pada 2017. Dalam arsip itu, nama Soeharto muncul hampir 40 kali—semuanya berkaitan dengan peristiwa penggulingan Bung Karno dan penghapusan PKI. Dari sanalah muncul narasi bahwa kudeta yang mengubah arah Indonesia itu bukan sekadar konflik internal, tapi juga hasil kolaborasi dua kepentingan besar: Soeharto yang ingin berkuasa, dan Amerika yang ingin menumpas komunisme. Poros Jakarta–Beijing–Pyongyang: Akar Ketegangan dengan Amerika Serikat Sebelum badai politik 1965, Bung Karno memang sudah lama membuat Amerika tidak nyaman. Ia menggagas poros Jakarta–Pyongyang–Beijing, menolak dominasi Barat, bahkan mendirikan GANEFO dan CONEFO sebagai tandingan Olimpiade dan PBB. Di mata Washington, itu sudah cukup untuk menandai Indonesia sebagai calon “Vietnam kedua”. Apalagi Bung Karno mengusung ideologi NASAKOM (Nasion...

Tantangan Demokrasi: Ketika Mantan Koruptor Masih Bisa Mencalonkan Diri

Image
  Dalam sistem politik Indonesia, isu mengenai mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai pejabat publik masih menjadi perdebatan hangat. Pakar hukum Feri menjelaskan bahwa di beberapa negara maju memang tidak ada larangan eksplisit bagi mantan terpidana korupsi untuk ikut pemilu. Bedanya, masyarakat di negara tersebut sudah memiliki kesadaran politik yang tinggi sehingga secara otomatis menolak figur bermasalah.   Namun, permasalahan di Indonesia muncul karena politik uang dan rekayasa suara masih kerap terjadi, membuat peluang mantan terpidana untuk menang tetap terbuka. Menurut Feri, sistem hukum seharusnya sudah mengantisipasi fenomena ini dengan memberikan batasan yang jelas agar keadilan tidak hanya menjadi jargon. Pelajaran dari Putusan Mahkamah Konstitusi dan KPU Feri menyinggung perbedaan cara interpretasi lembaga negara dalam menetapkan batas waktu bagi mantan koruptor untuk maju di pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan pembatasan lima tah...

Ketika Kereta Cepat Jadi Lambat Untung

Image
Bayangkan sebuah proyek yang butuh tiga abad lebih untuk balik modal. Itulah potret nyata KCIC—kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini jadi bahan obrolan panas antara Guru Gembul dan Benix, sang investor kawakan. Dalam hitungan bisnis, angka itu bukan lagi investasi, tapi nyaris jadi legenda ekonomi. Pendapatan per tahun hanya sekitar 300 miliar, sementara modalnya menembus 110 triliun rupiah. Bahkan jika tiketnya selalu laku, hitungan sederhana menunjukkan mustahil menutup biaya dalam waktu wajar. Belum lagi sebagian besar gerbong kerap kosong di jam-jam tertentu, hanya penuh saat magrib dan pagi hari. Pemerintah, Investor Paling Buruk di Dunia? Menyinggung teori klasik dari Charlie Munger, partner legendaris Warren Buffet: “Pemerintah adalah investor paling buruk.” Sebab, banyak kebijakan infrastruktur dilakukan dengan logika politik, bukan logika untung rugi. Alih-alih memperhitungkan efisiensi, proyek-proyek raksasa seperti KCIC justru terjebak dalam ambisi meninggalkan “legacy” pem...

Fenomena Turunnya Jumlah Santri di Indonesia

Image
Bayangkan, dalam kurun waktu hanya lima tahun, jumlah santri di Indonesia anjlok dari 5 juta menjadi 1,37 juta orang. Angka ini bukan gosip warung kopi, tapi data resmi dari Kementerian Agama. Penurunan sebesar 76% ini bukan sekadar statistik — ini alarm keras yang menandakan ada yang salah dalam sistem pendidikan pesantren kita. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam dua dekade ke depan, pesantren akan tinggal nama tanpa santri. Fanatisme Buta dan Resistensi terhadap Kritik Alih-alih memperbaiki diri, sebagian pesantren justru menolak kritik dan menganggapnya sebagai serangan pribadi. Ketika seseorang mencoba memberi masukan, responnya sering kali bukan diskusi, melainkan “Kamu siapa? Sudah punya sanad belum?” Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya budaya otoritas guru sebagai pusat kebenaran, di mana benar atau salah tidak ditentukan oleh isi argumen, tapi oleh siapa yang mengatakannya. Akibatnya, ruang untuk introspeksi tertutup rapat. Ketika Pendidikan Berhent...

Renungan Filosofis tentang Batas Pengetahuan dan Nalar Manusia

Image
  Apakah agama sebenarnya menghambat kemajuan manusia? Pertanyaan ini tentu mengusik keyakinan banyak orang, tetapi juga membuka ruang refleksi yang dalam. Dalam pandangan sebagian ilmuwan dan filsuf, agama bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan juga mekanisme sosial yang “meredam” ambisi manusia agar tidak melampaui batas alam. Bayangkan, jika manusia tidak pernah berhenti menciptakan teknologi, menantang hukum alam, bahkan bereksperimen dengan genetik tanpa batas, apa yang tersisa dari keseimbangan bumi? Maka, bisa jadi agama memang diciptakan sebagai penyeimbang — sebuah rem peradaban agar manusia tidak menjadi “Tuhan kecil” di bumi. Dari Yunani Hingga Persia yang Tumbang Karena Dogma Sejarah mencatat peradaban Yunani kuno pernah berdiri megah dengan filsafat rasionalnya. Di masa Socrates dan Aristoteles, manusia diajak berpikir, mempertanyakan, dan menguji segala sesuatu lewat logika. Tapi ketika kepercayaan religius mulai menguasai, peradaban itu justru mengalami kemunduran...

Skandal Dana Haji dan Ulama Gadungan

Image
Bayangkan ibadah yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual, justru berubah menjadi arena transaksi. Orang kaya bisa langsung ke Tanah Suci tanpa antre, sementara rakyat biasa harus menunggu 15 tahun. Fenomena jual beli kuota haji dan dugaan korupsi dana haji di Kementerian Agama bukan sekadar kisah ironis — ini tragedi moral dalam wajah religiusitas bangsa. Yang lebih getir, praktik ini dijalankan oleh mereka yang mengaku “ulama”, “kiai”, dan “penjaga moral umat.” Mereka berbicara tentang surga dan dosa, tapi tangan mereka mencelup ke dalam uang umat yang suci. Moralitas Minus, Tapi Gelar Ustaz Melekat Kuat Entah sejak kapan kealiman diukur dari panjangnya sorban atau viralnya ceramah. Di banyak tempat, kelompok yang paling keras bicara soal dosa justru paling aktif menciptakannya. Mereka mengatasnamakan agama untuk melabeli orang lain sesat, sementara diri sendiri tenggelam dalam kemewahan hasil korupsi dan suap. Lebih parahnya lagi, mereka berlindung di balik nama lembaga keagamaa...

Ketika Kesetiaan Anjing Lebih Bernilai dari Amanah Manusia

Image
Lucunya hidup di negeri ini — kadang yang tidak berakal justru memberi pelajaran tentang martabat. Seekor anjing, misalnya, dikenal setia tanpa pamrih. Dikasih makan, ia menjaga tuannya sampai akhir hayat. Namun manusia, terutama yang duduk di kursi empuk kekuasaan, sering justru kehilangan naluri dasar bernama loyalitas. Bandingkan dengan anggota DPR yang digaji dari keringat rakyat, lengkap dengan tunjangan, fasilitas rumah dinas, kendaraan, hingga pensiun. Semua itu berasal dari pajak rakyat kecil yang makan saja harus menghitung setiap rupiah. Tapi setelah mendapat semuanya, justru banyak yang tega menari di atas penderitaan publik. Fenomena Naiknya Tunjangan DPR dan Luka Kolektif Rakyat Saat sebagian besar masyarakat memotong tabungan hanya untuk bertahan hidup, muncul kabar bahwa tunjangan DPR dinaikkan. Ada yang bersorak, bahkan berjoget di ruang sidang. Rakyat yang menonton hanya bisa menatap layar dengan perasaan getir — seperti menyaksikan tragedi yang dibungkus dalam tawa pa...

Fenomena CEO India di Perusahaan Dunia

Image
  Lucunya dunia modern ini — yang awalnya menyerukan kesetaraan dan pluralisme, malah berujung pada kompetisi identitas. Di Amerika Serikat, misalnya, kebijakan diversity and inclusion yang digagas pemerintahan Joe Biden awalnya terdengar sangat mulia: membuka ruang bagi kelompok minoritas untuk memimpin. Namun, siapa sangka, justru kebijakan ini membuka jalan bagi fenomena naiknya CEO keturunan India di perusahaan raksasa Amerika seperti Google, Microsoft, hingga IBM. Tahun 2021, jumlahnya masih sekitar 10 orang di daftar Fortune 500. Dua tahun kemudian, melonjak jadi 16. Media sosial pun riuh membicarakan kehebatan orang India dalam dunia teknologi dan manajemen global. Tapi, apakah benar itu murni karena keunggulan kompetensi mereka? Sisi Tersembunyi: Bukan Hebatnya Genetik, Tapi Pintarnya Momentum Orang India memang dikenal memiliki diaspora besar dan berani “merantau dulu, sukses belakangan.” Namun menurut analisis sosial yang menarik, kesuksesan ini bukan murni karena kemampu...

Makna Sebenarnya dari Binaraga yang Sering Disalahpahami

Image
Lucu juga kalau dipikir. Saat seseorang memamerkan lukisan, orang lain bilang “wah, luar biasa, karya penuh makna.” Tapi ketika seorang binaragawan memperlihatkan hasil kerja kerasnya lewat tubuh berotot, tiba-tiba dianggap sombong, narsis, atau bahkan pamer. Padahal, indikator prestasi seorang binaragawan memang harus diekspresikan secara visual — sama seperti seniman yang mengekspresikan karyanya lewat kanvas. Binaraga itu bukan tentang pamer. Itu adalah bentuk ekshibisi, cara untuk memperlihatkan hasil latihan, kedisiplinan, dan kontrol diri. Sama seperti pelari yang diukur dari stopwatch, atau atlet angkat besi yang diukur dari berat beban, binaragawan diukur dari proporsi, simetri, dan estetika tubuh. Tinggi Badan Tak Menentukan, Simetri yang Jadi Kunci Banyak orang penasaran, kenapa sebagian besar binaragawan justru memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi? Jawabannya sederhana: simetri dan proporsionalitas lebih mudah dicapai oleh mereka yang bertubuh lebih pendek. Bayangkan j...

Analisis Tentang Provokasi, Fog of War, dan Siapa yang Menunggangi Gerakan Rakyat

Image
  Tak semua yang terlihat murni selalu benar-benar bersih. Begitulah inti pesan dari gerakan massa tersebut pada awalnya memang lahir dari keresahan tulus masyarakat—dari kemarahan terhadap ketidakadilan, korupsi, dan kebijakan yang menekan. Namun, di tengah semangat itu, ada tangan-tangan tersembunyi yang menunggangi situasi demi kepentingan tertentu. Istilah “ditunggangi” berbeda jauh dengan “didalangi.” Ia tidak menuduh ada pihak yang mengatur segalanya sejak awal, melainkan menyoroti bahwa di tengah gelombang protes murni, ada kelompok lain yang memanfaatkannya untuk menciptakan kekacauan. Strategi Lama yang Kembali Digunakan di Era Digital Salah satu konsep paling menarik dalam analisis adalah “fog of war” atau kabut peperangan. Ia menggambarkan situasi di mana masyarakat tidak lagi tahu siapa kawan dan siapa lawan. Ketika kabut itu menebal, publik mudah digiring oleh arus informasi palsu, berita hoaks, dan propaganda yang sengaja disebarkan. Contohnya, muncul kabar bohong sep...