Ketika Kereta Cepat Jadi Lambat Untung
Bayangkan sebuah proyek yang butuh tiga abad lebih untuk balik modal. Itulah potret nyata KCIC—kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini jadi bahan obrolan panas antara Guru Gembul dan Benix, sang investor kawakan. Dalam hitungan bisnis, angka itu bukan lagi investasi, tapi nyaris jadi legenda ekonomi.
Pendapatan per tahun hanya sekitar 300 miliar, sementara modalnya menembus 110 triliun rupiah. Bahkan jika tiketnya selalu laku, hitungan sederhana menunjukkan mustahil menutup biaya dalam waktu wajar. Belum lagi sebagian besar gerbong kerap kosong di jam-jam tertentu, hanya penuh saat magrib dan pagi hari.
Pemerintah, Investor Paling Buruk di Dunia?
Menyinggung teori klasik dari Charlie Munger, partner legendaris Warren Buffet: “Pemerintah adalah investor paling buruk.” Sebab, banyak kebijakan infrastruktur dilakukan dengan logika politik, bukan logika untung rugi.
Alih-alih memperhitungkan efisiensi, proyek-proyek raksasa seperti KCIC justru terjebak dalam ambisi meninggalkan “legacy” pemerintahan sebelumnya. Akibatnya, rakyat membayar harga dari kebijakan yang kurang matang.
Purbaya dan Seni Membantah “Opung”
Menariknya, Purbaya—sosok yang awalnya dianggap “antek” dari pejabat senior—justru tampil berani melawan arus. Ia menolak keras ide bahwa utang KCIC harus dibayar pemerintah.
“Kalau yang ngutang KCIC, ya mereka yang bayar,” tegasnya.
Sikap ini bukan sekadar kontroversial, tapi juga menandai munculnya figur teknokrat yang berani menyeimbangkan kekuasaan super body seperti Danantara atau BUMN besar. Bahkan ketika Luhut ingin membuat family office di Bali menggunakan APBN, Purbaya langsung menolak dengan logika tajam: “Kalau mau bikin, pakai uang sendiri.”
Paradoks Indonesia dan Mimpi Makan Dua Kali Sehari
Ada kisah pengalaman pribadi di Bengkulu Utara, daerah yang begitu miskin hingga ada anak kecil yang bahkan tak tahu apa itu “sarapan”.
“Sarapan itu apa, Umi?” tanya si bocah polos itu.
Di sanalah makna pemerataan ekonomi terasa nyata—bukan di gedung tinggi atau ruang rapat menteri. Program MBG (Makan Bergizi Gratis) menjadi harapan agar generasi Indonesia tak lagi kelaparan secara struktural. Meski sederhana, kebijakan ini punya dampak besar jika diterapkan serius. Jepang dan Korea pun sukses dengan strategi serupa setelah perang dunia.
Check and Balances yang Justru Sehat
Bentrok antara Purbaya, Sri Mulyani, hingga Luhut memang sering memanas. Tapi menurut Benix, gesekan itu justru bagus.
“Di situ terjadi check and balance. Jadi enggak semua keputusan mengalir tanpa logika,” ujarnya.
Perbedaan pendapat membuka ruang bagi transparansi fiskal, terutama terkait penggunaan dana APBN dan kebijakan utang negara. Daripada semua setuju tanpa debat, lebih baik ada yang berani mengkritik demi mencegah kebijakan buta arah.
Rahasia Jepang: Untung Bukan dari Tiket Kereta
Di Jepang, perusahaan seperti JR Railways tak mencari untung dari tiket semata. Mereka menanamkan investasi besar di sekitar stasiun-stasiun strategis, membangun mall, hotel, dan apartemen yang membuat nilai properti naik pesat.
Sementara Indonesia masih memisahkan pembangunan kereta dengan area komersialnya, sehingga potensi ekonomi stasiun tak pernah tumbuh optimal.
“Harusnya stasiun jadi pusat keramaian, bukan hanya tempat orang naik turun,” ujar Benix tegas.
Politik, Bukan Ekonomi: Akar Masalahnya
Masalah KCIC dan berbagai proyek serupa bukan hanya soal angka, tapi juga soal ego politik. Banyak pejabat ingin meninggalkan jejak monumental, padahal dampak jangka panjangnya bisa jadi beban negara.
Sistem pemilu yang mahal membuat banyak pejabat berpikir jangka pendek. Mereka ingin hasil cepat yang bisa dipamerkan ke publik, meskipun secara finansial tidak berkelanjutan.
Dari semua perdebatan ini, satu hal menjadi jelas:
Indonesia butuh pembuat kebijakan yang berani berpikir realistis, bukan hanya populis. Purbaya mungkin bukan sosok sempurna—ia pun dikritik dalam isu cukai rokok—namun keberaniannya untuk melawan arus adalah napas segar di tengah kultur “asal setuju”.
Jika kebijakan fiskal terus diarahkan pada pemerataan, bukan pencitraan, maka kisah anak Bengkulu Utara yang tak tahu apa itu sarapan mungkin tak akan terulang lagi.

Comments
Post a Comment