Fenomena Ternak Mulyono: Antara Sindiran Politik dan Teori Konspirasi di Balik Kekuasaan
Lucunya, istilah Ternak Mulyono baru populer setelah pesta demokrasi usai. Biasanya, ejekan politik muncul di masa kampanye, tapi yang satu ini muncul belakangan — seperti bayangan yang tak mau pergi. Mungkin karena memang ada aroma misteri yang sulit dijelaskan antara kekuasaan, pengaruh, dan permainan opini publik.
Namun sebelum bicara jauh, mari balik ke pertanyaan yang lebih filosofis: apakah Ternak Mulyono benar-benar ada atau hanya sekadar simbol yang diciptakan untuk memecah fokus masyarakat dari isu besar lain seperti korupsi, migas, atau pemilu yang tak pernah sepi drama?
Asal-usul dan Makna di Balik Istilah Ternak Mulyono
Istilah ini lahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul sebagai sindiran kepada pihak-pihak yang dianggap terlalu setia kepada Presiden Jokowi. Para penentang menyebutnya dengan nada menghujat, seolah mereka hanyalah pengikut tanpa arah. Padahal, jika ditelisik, maknanya lebih kompleks daripada sekadar olok-olok politik.
Ternak Mulyono kerap disematkan pada menteri, partai politik, pengusaha, hingga ormas yang disebut-sebut berada di bawah pengaruh Jokowi. Namun batasnya kabur. Siapa yang bisa menentukan seseorang itu pendukung murni, simpatisan pragmatis, atau sekadar pejabat yang menjalankan tugas negara?
20 Kelompok yang Disebut Ternak Mulyono
Dalam versi yang beredar di publik, ada dua puluh kelompok yang diduga termasuk dalam kategori ini. Mulai dari menteri dan pejabat BUMN, konglomerat, hingga relawan-relawan politik. Bahkan lembaga besar pun ikut disebut-sebut dalam daftar.
Tak ketinggalan, media massa, influencer, dan organisasi ormas juga masuk radar. Semua dianggap bagian dari jejaring besar yang menopang kekuatan politik pasca-era Jokowi. Benarkah begitu? Atau hanya asumsi yang dipelihara agar publik sibuk menebak-nebak?
Ketika Buzzer dan Televisi Jadi Panggung Politik
Pernah menonton acara debat yang isinya benturan tokoh-tokoh politik? Kadang terasa janggal, seperti Smackdown politik—ada yang jadi jagoan, ada yang sengaja dikorbankan untuk tontonan. Dalam beberapa kasus, tokoh pro dan kontra terhadap Jokowi seolah memang sudah diatur untuk saling serang di layar kaca.
Beberapa pengamat bahkan menduga bahwa perang opini publik ini sengaja diciptakan agar masyarakat teralihkan dari isu krusial seperti kebijakan ekonomi, dugaan korupsi besar, atau ketimpangan sosial. Isu Ternak Mulyono pun kemudian menjadi alat hiburan politik yang menguras emosi, bukan nalar.
Ironi dan Kejanggalan di Balik Narasi
Jika istilah ini ditujukan untuk menggambarkan pihak yang mendukung Jokowi, lalu mengapa sebagian besar dari mereka kini berada dalam kabinet Prabowo? Bukankah mereka kini di kubu yang sama? Fenomena ini menunjukkan betapa kaburnya garis batas antara pendukung dan musuh dalam politik Indonesia.
Lebih jauh, beberapa nama yang dulu dianggap dekat dengan Jokowi kini justru terlihat berseberangan, bahkan saling sindir di ruang publik. Maka muncul pertanyaan: apakah Ternak Mulyono hanyalah konsep cair yang disesuaikan dengan kepentingan siapa yang sedang berkuasa?
Taktik Pengalihan Isu dan Kontrol Pikiran Publik
Dalam analisanya menyinggung hal menarik: bagaimana publik seolah diarahkan untuk sibuk memperdebatkan hal-hal remeh seperti ijazah presiden atau gosip politik, sementara isu besar seperti korupsi triliunan rupiah di Pertamina perlahan tenggelam dari perhatian.
Fenomena ini memperkuat dugaan bahwa ada pola pengalihan isu. Ketika topik besar mencuat, langsung muncul isu baru — entah itu soal Termul, soal ijazah, atau perdebatan buzzer di media sosial. Publik pun dibuat lelah oleh drama politik yang tak berkesudahan.
Relasi Kekuasaan dan Termul sebagai Simbol
Lebih dari sekadar ejekan, istilah ini mencerminkan relasi kuasa yang tidak seimbang. Ternak menggambarkan posisi yang dikendalikan, sedangkan Mulyono bisa dibaca sebagai simbol dari kekuatan yang mengatur arah gerak. Dalam konteks politik, itu bisa berarti siapa pun yang tunduk pada sistem kekuasaan dominan.
Namun apakah semua yang bekerja di bawah pemerintahan otomatis ternak? Tentu tidak sesederhana itu. Banyak pejabat yang tetap bekerja profesional tanpa harus terseret politik loyalitas. Justru, stigma seperti inilah yang membuat ruang dialog publik makin sempit.
Ketika Satire Menjadi Cermin
Pada akhirnya, istilah Ternak Mulyono bisa dibaca sebagai satire sosial—kritik atas fanatisme politik yang melampaui batas. Ia menyindir publik yang terlalu mudah memuja atau membenci tokoh politik tanpa berpikir kritis.
Dan menariknya, istilah ini mungkin tidak akan pernah benar-benar mati. Ia akan terus muncul setiap kali publik merasa ada ketimpangan, ada kelompok yang dianggap terlalu dominan, atau ada aroma kekuasaan yang menekan logika.
Siapa yang Sebenarnya Dikendalikan?
Barangkali pertanyaan terakhir yang paling penting bukanlah siapa Ternak Mulyono itu, tapi apakah kita sendiri sedang menjadi bagian dari ternak yang lebih besar—ternak yang dikendalikan oleh media, algoritma, dan permainan opini yang tidak kita sadari.
Karena jika benar politik sudah menjadi panggung hiburan, maka rakyat hanyalah penonton setia yang tertawa di tengah sandiwara, tanpa sadar sedang dikendalikan oleh naskah yang ditulis entah oleh siapa.

Comments
Post a Comment