Fenomena Sound Horeg Jawa Timur

Lucunya, kadang yang paling ribut justru bukan yang paling bahagia. Di tengah sorotan lampu warna-warni dan dentuman bass yang mengguncang dada, ada sisi gelap yang jarang disadari: sound horeg bukan sekadar hiburan, tapi refleksi sosial dan psikologis dari masyarakat yang sedang lelah.

Suara Bising, Jiwa yang Sunyi: Mengapa Sound Horeg Begitu Diminati?

Dulu, siapa sangka bahwa tren musik keras ini lahir dari kampung-kampung Jawa Timur, lalu menular ke Jogja, Jakarta, hingga Jabodetabek. Dari Malang yang awalnya cuma punya ribuan pengusaha sound system, sekarang fenomenanya menjalar seperti api — menembus sekat kota, menembus kritik, bahkan fatwa.

Bisnis Sound Horeg Tumbuh Gila-Gilaan

Bayangkan saja — di Malang dan sekitarnya, ada lebih dari 13.000 pengusaha sound system, dan 500 di antaranya bisa membuat karnaval besar tiap bulan. Dalam satu bulan, mereka bisa dapat 20 orderan, dengan tarif 20 sampai 50 juta rupiah per event.

Jadi kalau ada yang bilang, orang Jawa suka sound, jangan tersinggung. Itu bukan stereotip — itu realita berbasis data.

Suara yang Menggelegar, Jiwa yang Meledak: Analisis Psikologi Sound Horeg

Asal muasal ketertarikan ini bisa dijelaskan lewat tiga hal: stres, rasa teralienasi, dan emosi yang labil.

1. Emosi yang Labil: Musik Jadi Terapi dan Pemantik

Musik keras bukan musuh. Ia justru berfungsi seperti obat bius — membenturkan pikiran, menyalurkan rasa marah, bahkan membangunkan gairah hidup yang lama mati. Orang yang sedang hancur hati mendengarkan lagu patah hati agar bisa menangis. Orang yang kehilangan semangat mencari irama yang bisa mengguncang tubuhnya lagi. Itulah fungsi emosional sound horeg — menstabilkan dengan cara yang tampak tidak stabil.

2. Teralienasi di Tengah Keramaian

Lucunya, banyak penikmat sound horeg bukan orang yang benar-benar sepi, tapi merasa sendirian di tengah keramaian. Hidup di desa, banyak tetangga, tapi semua terasa palsu — senyum tanpa makna, tegur sapa tanpa jiwa. Mereka ingin merasa bersama lagi. Maka ketika ribuan orang berkumpul, mendengarkan beat yang sama, goyah di frekuensi yang sama, lahirlah sensasi persatuan yang sejati — bukan lewat kata, tapi lewat getaran.

3. Stres dan Tekanan Hidup Pasca Pandemi

Fenomena ini mulai meledak setelah COVID-19. Banyak warga Jawa Timur kehilangan pekerjaan, arah, dan ketenangan batin. Ketika tekanan itu menumpuk, suara keras jadi jalan keluar. Musik bukan lagi sekadar hiburan, tapi alat anestesi untuk mematikan rasa sakit. Mereka yang tak bisa menangis, memilih berdansa di bawah dentuman.

Kenapa Cuma di Jawa Timur?

Kalau stres, alienasi, dan emosi labil ada di seluruh dunia, kenapa cuma Jawa Timur yang meledak?

Jawabannya menarik — budaya dasar orang Jawa Timur memang suka keramaian dan suara keras.

Tradisi bantengan, jathilan, reog, dan karnaval desa semuanya penuh irama menghentak dan tabuhan tanpa henti.

Musik keras bukan gangguan bagi mereka, tapi bahasa emosional yang diwariskan turun-temurun.

Sementara itu, wilayah Jawa Tengah dan Barat punya karakter sosial berbeda: lebih tenang, lebih terkonsentrasi, lebih tertata secara pemerintahan sejak masa kerajaan dan kolonial. Sedangkan di Jawa Timur, masyarakatnya tersebar, lebih bebas, lebih spontan. Dan di situlah sound horeg menemukan ruangnya — karena kebebasan tanpa batas butuh suara tanpa batas juga.

Dari Dugem ke Sound Horeg: Dua Dunia, Satu Akar

Sebenarnya, sound horeg itu dugem versi kampung. Sama-sama berisik, sama-sama memompa adrenalin, dan sama-sama berfungsi sebagai katarsis dari tekanan hidup.

Bedanya, dugem dikurung di klub dengan peredam, sementara sound horeg menembus udara terbuka — sampai nenek-nenek di sebelah rumah ikut mendengar.

Dalam istilah psikologi, keduanya muncul dari kebutuhan pelarian dari realitas.

Bahkan petarung MMA terkenal, Conor McGregor, pernah bilang: Dugem itu untuk orang berjiwa lemah. Dan setelah kariernya jatuh, dia malah jadi salah satu penggila pesta malam. Ironi yang sempurna.

Hilangnya Empati: Akar Sosial yang Tak Disadari

Namun di balik dentuman sound horeg, ada hal yang lebih mengkhawatirkan: turunnya empati sosial. Ketika stres kronis menumpuk, otak manusia memilih bertahan hidup daripada terhubung dengan sesama. Maka muncullah perilaku: Yang penting saya senang. Orang lain terganggu? Biar saja.

Inilah wajah baru masyarakat yang tertekan — tidak jahat, hanya kehilangan kemampuan merasakan. Sound horeg bukan sekadar pesta telinga, tapi teriakan jiwa yang kehilangan simpati.

Fenomena Sound Horeg di Jawa Timur dan Cermin Kesehatan Mental Kolektif

Kalau kita menyoroti fenomena ini lebih dalam, sesungguhnya sound horeg adalah gejala sosial, bukan sekadar budaya. Ia menunjukkan betapa besar kebutuhan masyarakat akan pelepasan emosional, pengakuan eksistensi, dan rasa kebersamaan yang hilang.

Ketika masyarakat membayar puluhan juta hanya untuk mendengar suara memekakkan telinga, mungkin itu bukan soal musik. Itu soal jiwa yang ingin didengar.

Antara Dentuman dan Doa

Jangan buru-buru menghujat sound horeg. Bagi sebagian orang, ia bukan kebisingan — ia doa dalam bentuk desibel tinggi. Ia adalah cara masyarakat Jawa Timur untuk berkata: Kami masih hidup. Kami masih butuh merasa bersama.

Maka mungkin, sebelum menertawakan atau melarang, kita perlu bertanya — apa yang membuat mereka butuh suara sekeras itu untuk merasa tenang?

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia