Tantangan Demokrasi: Ketika Mantan Koruptor Masih Bisa Mencalonkan Diri

 

Dalam sistem politik Indonesia, isu mengenai mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai pejabat publik masih menjadi perdebatan hangat. Pakar hukum Feri menjelaskan bahwa di beberapa negara maju memang tidak ada larangan eksplisit bagi mantan terpidana korupsi untuk ikut pemilu. Bedanya, masyarakat di negara tersebut sudah memiliki kesadaran politik yang tinggi sehingga secara otomatis menolak figur bermasalah.  

Namun, permasalahan di Indonesia muncul karena politik uang dan rekayasa suara masih kerap terjadi, membuat peluang mantan terpidana untuk menang tetap terbuka. Menurut Feri, sistem hukum seharusnya sudah mengantisipasi fenomena ini dengan memberikan batasan yang jelas agar keadilan tidak hanya menjadi jargon.

Pelajaran dari Putusan Mahkamah Konstitusi dan KPU

Feri menyinggung perbedaan cara interpretasi lembaga negara dalam menetapkan batas waktu bagi mantan koruptor untuk maju di pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan pembatasan lima tahun sejak bebas murni, bukan bebas bersyarat. Sayangnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kadang mengambil tafsir berbeda yang justru menguntungkan pihak-pihak tertentu.  

Fenomena ini semakin mempertegas pentingnya transparansi lembaga pemilu dan penegakan supremasi hukum agar rakyat memiliki kepercayaan kembali kepada sistem demokrasi.

Hubungan Rakyat dan DPR: Putus Setelah Pemilu

Salah satu pernyataan paling reflektif dari Feri adalah tentang hubungan antara rakyat dan wakilnya yang terputus setelah pemilu. Di Indonesia, representasi rakyat berhenti pada saat penghitungan suara. Setelah pejabat terpilih dilantik, garis komunikasi langsung dengan konstituen hilang sama sekali. Bandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat, di mana warga masih bisa memberhentikan anggota DPR melalui mekanisme recall.

Menurut Feri, di Indonesia partai politik justru menjadi pusat kendali kekuasaan, bukan rakyat. Akibatnya, DPR sering kali hanya menjadi perpanjangan tangan elit partai, bukan suara publik.

Kasus Bupati Pati dan Logika Kekuasaan

Diskusi menarik muncul ketika mengangkat kasus Bupati Pati yang menolak mundur meski menghadapi gelombang demo besar. Feri menegaskan bahwa kepala daerah dapat diberhentikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya jika melanggar larangan atau menciptakan keresahan masyarakat. 

Dalam praktiknya, mekanisme pemberhentian dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri atau melalui DPRD dengan hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat. Persoalannya, proses politik sering kali lebih kuat daripada substansi hukum.

Mengapa Eksekusi Hukum Tidak Tegas terhadap Pejabat?

Pertanyaan publik soal pejabat yang tetap bebas meski sudah divonis menjadi sorotan berikutnya. Feri menjelaskan bahwa jaksa sebagai eksekutor hukum berada di bawah struktur eksekutif. Karena itu, sulit mengharapkan independensi penuh ketika yang dieksekusi adalah orang-orang dekat kekuasaan.  

Padahal, dalam negara hukum, prinsipnya jelas: putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap harus segera dieksekusi. Ketidaktegasan seperti ini memperburuk citra penegakan hukum serta memperdalam ketimpangan keadilan antara rakyat biasa dan penguasa.

Gaji Pejabat dan Ukuran Keadilan Ekonomi

Menjawab pertanyaan soal gaji pejabat, Feri menegaskan bahwa secara ideal pejabat publik harus digaji besar agar tidak tergoda melakukan korupsi. Namun, gaji besar itu wajib diimbangi dengan tanggung jawab moral dan kepatuhan hukum yang tinggi. Ia bahkan menyoroti ketimpangan antara pejabat tinggi dan aparatur negara di lapisan bawah seperti prajurit dan hakim daerah yang masih hidup pas-pasan.  

Konsep ideal menurutnya, jika gaji tertinggi lima belas hingga dua puluh kali lipat dari gaji pegawai terendah, maka setiap kebijakan peningkatan kesejahteraan akan memotivasi pejabat memperjuangkan kenaikan taraf hidup rakyat.

Kritik dan Partisipasi Publik Sebagai Hak Konstitusional

Salah satu pesan paling kuat dari perbincangan ini adalah gagasan bahwa kritik terhadap pemerintah bukanlah makar. Feri mengingatkan bahwa Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat, berserikat, serta menyampaikan informasi. Justru dari kritik publik inilah pemerintah semestinya memperoleh masukan untuk memperbaiki diri.  

Ia menolak pandangan bahwa menyuarakan keburukan pemerintah berarti mengancam stabilitas, sebab tanpa kontrol publik, keburukan justru akan berlangsung terus-menerus.  

Tujuannya bukan untuk menggantikan fungsi DPR, tetapi sebagai ruang aspirasi alternatif agar suara rakyat tetap terdengar. Feri pun menyetujuinya dan menyebut bahwa bentuk partisipasi semacam ini dilindungi konstitusi. Bahkan di negara-negara demokratis maju, mekanisme petisi digital bisa memengaruhi keputusan parlemen.  

Maka dari itu, forum digital bukan sekadar hiburan, tetapi juga media edukatif sekaligus sarana penguatan civic engagement atau keterlibatan warga dalam tata kelola negara.

Refleksi: Menjaga Harapan Melalui Kesadaran Hukum

Percakapan panjang itu diakhiri dengan pesan penting bahwa kesadaran hukum adalah tangga pertama menuju negara adil dan demokratis. Ketika masyarakat memahami hak dan kewajibannya, aparat hukum bekerja independen, serta lembaga politik kembali ke fungsinya, maka Indonesia akan melangkah ke arah yang lebih terang.

Feri bahkan menekankan dengan humor khasnya, bahwa “bahkan hak untuk menjadi jomblo pun dilindungi konstitusi,” untuk menegaskan betapa luasnya perlindungan hak warga negara di bawah payung UUD 1945.

Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Cara Bikin Pelanggan Hotel Ngerasa Diperhatiin ala Call Center Indonesia

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia