Fenomena Turunnya Jumlah Santri di Indonesia

Bayangkan, dalam kurun waktu hanya lima tahun, jumlah santri di Indonesia anjlok dari 5 juta menjadi 1,37 juta orang. Angka ini bukan gosip warung kopi, tapi data resmi dari Kementerian Agama. Penurunan sebesar 76% ini bukan sekadar statistik — ini alarm keras yang menandakan ada yang salah dalam sistem pendidikan pesantren kita.

Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam dua dekade ke depan, pesantren akan tinggal nama tanpa santri.

Fanatisme Buta dan Resistensi terhadap Kritik

Alih-alih memperbaiki diri, sebagian pesantren justru menolak kritik dan menganggapnya sebagai serangan pribadi. Ketika seseorang mencoba memberi masukan, responnya sering kali bukan diskusi, melainkan “Kamu siapa? Sudah punya sanad belum?”

Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya budaya otoritas guru sebagai pusat kebenaran, di mana benar atau salah tidak ditentukan oleh isi argumen, tapi oleh siapa yang mengatakannya. Akibatnya, ruang untuk introspeksi tertutup rapat.

Ketika Pendidikan Berhenti di Level Paling Dasar

Dalam dunia pendidikan modern, berpikir kritis adalah jantung dari kemajuan. Namun, di banyak pesantren salaf, proses belajar masih berhenti di level menghafal teks tanpa memahami konteks.

Santri diajarkan untuk mengulang kata demi kata dari kitab, tapi dilarang menafsirkan atau mempertanyakan makna di baliknya.

Padahal, berpikir analitis dan kreatif adalah kemampuan penting agar santri bisa menghadapi realitas zaman — bukan sekadar mengutip dalil tanpa solusi.

Mengulang Masa Lalu, Melupakan Masa Kini

Banyak pesantren masih hidup dalam bayang-bayang abad ke-13. Ulama masa lalu dijadikan patokan tunggal, sementara pemikiran kontemporer dicurigai sebagai ancaman.

Perdebatan ekonomi syariah, misalnya, masih merujuk pada tafsir abad pertengahan, seolah ilmu ekonomi modern tidak pernah ada.

Kondisi ini memperlihatkan ketakutan terhadap inovasi — sesuatu yang ironis bagi lembaga yang seharusnya melahirkan pemimpin intelektual.

Pendidikan Tanpa Ukuran Keberhasilan

Coba tanyakan, berapa banyak pesantren yang punya data tentang alumni mereka bekerja di mana, berprestasi apa, atau berkontribusi pada masyarakat?

Mayoritas tidak tahu.

Tidak ada sistem penilaian berbasis data, tidak ada survei, bahkan data resmi tentang jumlah santri pun masih simpang siur.

Bandingkan dengan universitas atau sekolah umum yang setiap tahun melakukan evaluasi dan analisis capaian lulusan. Tanpa data, pesantren sulit berbenah — karena mereka tidak tahu di mana letak masalahnya.

Sekularisme Terselubung di Dunia Pesantren

Ironisnya, sebagian kalangan pesantren justru memisahkan ilmu agama dari ilmu dunia. Matematika, biologi, ekonomi dianggap tidak penting karena tidak ditanya di akhirat.

Padahal, membangun masjid butuh ilmu teknik. Mengelola pesantren butuh ekonomi. Dan memahami ciptaan Allah lewat sains adalah bentuk ibadah juga.

Keterpisahan ini menjadikan santri sulit bersaing di dunia modern — baik secara akademik maupun profesional.

Kebenaran Tergantung Siapa yang Mengatakan

Ketika kiai menjadi pusat segalanya, maka ruang berpikir rasional ikut mati.

Ada kasus pencaboelan di pesantren, namun santri memilih diam “demi berkah”.

Ada tafsir yang bertentangan dengan Al-Qur’an, tapi tetap diikuti karena berasal dari guru yang dihormati.

Fenomena tabarruk yang salah kaprah ini melahirkan budaya taklid — bukan budaya ilmu. Akibatnya, banyak pesantren berubah menjadi sistem feodal yang sulit disentuh akal sehat.

Menguasai Lisan, Gagal di Tindakan

Para ustaz bisa berbicara panjang soal keharaman zina, tapi tidak paham bagaimana mencegahnya secara ilmiah.

Mereka tahu teori rumah tangga sakinah, tapi banyak yang gagal membangun rumah tangga sendiri.

Di sinilah paradoksnya: penguasaan teks tidak menjamin kemampuan praksis.

Tanpa pemahaman “how” dan “why”, semua ajaran berhenti di permukaan.

Mengapa Pesantren Bisa Bangkit Kembali?

Mungkin jawabannya sederhana tapi berat: berani berubah.

Pesantren perlu membuka diri terhadap sains, teknologi, serta metode pendidikan modern tanpa kehilangan nilai spiritualnya.

Kritik bukanlah serangan, tapi bahan bakar untuk perbaikan. Jika pesantren bisa menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi, maka mereka masih punya peluang menjadi benteng peradaban Islam yang relevan di era digital.

Ketika pesantren kehilangan daya tariknya, bukan karena masyarakat meninggalkan agama, tapi karena lembaganya berhenti tumbuh.

Penurunan jumlah santri bukan sekadar masalah angka — ia adalah refleksi dari sistem yang stagnan, menolak kritik, dan menutup diri dari perubahan.

Kalau tidak segera berbenah, pesantren bisa punah bukan karena diserang dari luar, tapi karena kebekuan dari dalam.

Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Cara Bikin Pelanggan Hotel Ngerasa Diperhatiin ala Call Center Indonesia

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia