Cerita Soeharto dan CIA dengan Kudeta Soekarno
Kadang sejarah tidak ditulis dengan tinta, tapi dengan kepentingan. Tahun 1964 sampai 1968, ternyata ada lebih dari 30.000 halaman dokumen rahasia Amerika Serikat yang baru dibuka pada 2017. Dalam arsip itu, nama Soeharto muncul hampir 40 kali—semuanya berkaitan dengan peristiwa penggulingan Bung Karno dan penghapusan PKI. Dari sanalah muncul narasi bahwa kudeta yang mengubah arah Indonesia itu bukan sekadar konflik internal, tapi juga hasil kolaborasi dua kepentingan besar: Soeharto yang ingin berkuasa, dan Amerika yang ingin menumpas komunisme.
Poros Jakarta–Beijing–Pyongyang: Akar Ketegangan dengan Amerika Serikat
Sebelum badai politik 1965, Bung Karno memang sudah lama membuat Amerika tidak nyaman. Ia menggagas poros Jakarta–Pyongyang–Beijing, menolak dominasi Barat, bahkan mendirikan GANEFO dan CONEFO sebagai tandingan Olimpiade dan PBB. Di mata Washington, itu sudah cukup untuk menandai Indonesia sebagai calon “Vietnam kedua”. Apalagi Bung Karno mengusung ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), yang menempatkan PKI sejajar dengan militer dan agama. Bagi Amerika, itu alarm bahaya.
Kudeta Sunyi dan Harga dari Sebuah Kekuasaan
Ketika situasi memanas, Soeharto melihat peluang. Ia tahu arah angin sedang berbalik. Sebagai militer nasionalis, ia menolak komunisme yang dianggap bisa “menyerap” Indonesia ke dalam jaringan Komintern. Di sisi lain, ambisinya untuk menjadi presiden membuatnya siap bersekutu dengan siapa pun yang membuka jalan ke kursi tertinggi.
Akhirnya, Amerika Serikat dan Soeharto bertemu dalam satu kepentingan: menggulingkan Bung Karno demi stabilitas yang menguntungkan keduanya.
Setelah peristiwa G30S, semua berubah cepat. Bung Karno dinonaktifkan, ditahan, lalu wafat beberapa tahun kemudian. Soeharto naik menjadi presiden. Amerika? Mereka mendapat “hadiah”: kontrak raksasa untuk perusahaan seperti Freeport, Exxon, dan Caltex, serta akses luas pada sumber daya alam Indonesia.
Dari Revolusi Hijau ke Industri Strategis Nasional
Namun, hubungan “mesra” itu tidak berlangsung selamanya. Pada 1970-an dan 1980-an, Soeharto mulai melakukan langkah berani: Revolusi Hijau dan industrialiasi menengah, yang kelak dikenal dengan istilah hilirisasi. Ia ingin Indonesia swasembada pangan dan mandiri secara industri.
Tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras—prestasi luar biasa, tapi justru membuat Amerika Serikat gelisah. Sebab dalam politik global versi Washington, negara yang tidak tergantung pada mereka dianggap “berpotensi jadi musuh”.
Langkah Soeharto makin jauh dengan pendirian BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis) yang menaungi PT PAL, PT INTI, dan IPTN—industri pesawat buatan sendiri.
Amerika melihat itu bukan sebagai kemajuan, tapi ancaman: Indonesia mulai tidak bisa dikendalikan.
Timor Leste dan Diplomasi Dua Wajah Amerika Serikat
Konflik berikutnya muncul saat Timor Leste hendak merdeka dari Portugal. Amerika, yang khawatir wilayah itu akan jatuh ke tangan komunis, justru mendorong Soeharto untuk mengambil alih. Indonesia menyetujui dengan imbalan perlindungan diplomatik dari Barat.
Tapi saat invasi terjadi, publik Amerika sendiri menolak—karena banyak laporan pelanggaran HAM. Dari sinilah muncul gesekan politik internal di Washington antara kepentingan moral dan ekonomi.
Titik Balik 1990-an: Ketika Kawan Menjadi Lawan
Keruntuhan Uni Soviet tahun 1991 mengubah segalanya. Tanpa komunisme, Amerika kehilangan musuh utama. Saat itulah Soeharto dianggap tidak lagi relevan.
Ia mulai mendekat ke Jepang dan negara-negara Islam, menjauh dari Barat. Amerika Serikat menanggapinya dengan cara yang “halus”—menggunakan krisis ekonomi Asia 1997–1998 sebagai momentum untuk menumbangkan Orde Baru.
Media Barat seperti The New York Times dan Times gencar menyoroti isu korupsi Soeharto, menamainya salah satu orang terkaya di dunia akibat praktik itu.
Tekanan demi tekanan muncul, mulai dari demonstrasi mahasiswa hingga intervensi IMF dengan “paket bantuan” yang justru memperparah krisis.
Bantuan itu mensyaratkan agar Indonesia menghentikan industrialisasi, mematikan IPTN, dan membuka pasar seluas-luasnya untuk perusahaan asing.
Akhirnya, Soeharto lengser pada Mei 1998.
Hilirisasi, Deindustrialisasi, dan Pola yang Berulang
Ironisnya, dua dekade kemudian, pola yang sama tampak muncul kembali. Ketika Indonesia kembali mencoba menghidupkan hilirisasi, tekanan global datang dari arah yang tak jauh berbeda.
Apakah sejarah akan berulang? Apakah negara yang berusaha mandiri selalu akan dihadang oleh kepentingan besar?
Pertanyaan itu masih terbuka. Yang jelas, sejarah hubungan Indonesia–Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam politik global, tidak ada kawan abadi, hanya kepentingan abadi.
Akhir Narasi: Bayang-Bayang Masa Lalu di Masa Kini
Prabowo—menantu Soeharto dan tokoh militer yang kini memimpin Indonesia—mungkin menghadapi dilema yang sama seperti mertuanya dulu.
Apakah kedekatan ideologi dan hubungan sejarah dengan Orde Baru akan menimbulkan pola geopolitik yang berulang?
Kita tidak tahu. Tapi satu hal pasti, politik dunia tak pernah benar-benar berubah—hanya pemainnya yang berganti.
Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, tapi cermin bagi bangsa yang ingin berdaulat.
Ketika kemandirian ekonomi Indonesia tumbuh, ketika hilirisasi mulai jadi visi bersama, maka benturan kepentingan besar pun akan kembali muncul.
Dan seperti yang terbukti berkali-kali: sejarah Indonesia bukan sekadar tentang siapa yang berkuasa, tapi tentang siapa yang berani menolak dikendalikan.

Comments
Post a Comment