Skandal Dana Haji dan Ulama Gadungan
Bayangkan ibadah yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual, justru berubah menjadi arena transaksi. Orang kaya bisa langsung ke Tanah Suci tanpa antre, sementara rakyat biasa harus menunggu 15 tahun. Fenomena jual beli kuota haji dan dugaan korupsi dana haji di Kementerian Agama bukan sekadar kisah ironis — ini tragedi moral dalam wajah religiusitas bangsa.
Yang lebih getir, praktik ini dijalankan oleh mereka yang mengaku “ulama”, “kiai”, dan “penjaga moral umat.” Mereka berbicara tentang surga dan dosa, tapi tangan mereka mencelup ke dalam uang umat yang suci.
Moralitas Minus, Tapi Gelar Ustaz Melekat Kuat
Entah sejak kapan kealiman diukur dari panjangnya sorban atau viralnya ceramah. Di banyak tempat, kelompok yang paling keras bicara soal dosa justru paling aktif menciptakannya. Mereka mengatasnamakan agama untuk melabeli orang lain sesat, sementara diri sendiri tenggelam dalam kemewahan hasil korupsi dan suap.
Lebih parahnya lagi, mereka berlindung di balik nama lembaga keagamaan — ormas, yayasan anak yatim, bahkan pondok pesantren. Semua dijadikan tameng, padahal di balik itu ada praktik kotor: bisnis ziarah palsu, paket umrah fiktif, hingga jual-beli jabatan.
Dari Dana Haji hingga Pendidikan
Data berbicara lantang — dari tahun ke tahun, Kementerian Agama masuk dalam daftar sepuluh besar lembaga paling korup di Indonesia. Ironinya, kementerian yang seharusnya membina akhlak justru menjadi sarang penyimpangan.
Mulai dari dana haji, dana pendidikan madrasah, hingga proyek bantuan sosial, semuanya tak luput dari praktik “bagi-bagi rezeki haram.” Ada kuota yang dijual miliaran rupiah, ada nama calon jemaah yang dicoret karena tak mampu “menyumbang”, bahkan ada laporan soal jatah haji rakyat kecil yang dialihkan ke orang kaya.
Ulama Gadungan: Antara Ceramah dan Candu Kekuasaan
Dalam percakapan dengan beberapa tokoh pesantren, muncul pengakuan getir: banyak kiai dan ustaz yang tahu praktik ini, tapi memilih diam. Alasannya klasik — hubungan pertemanan, jaringan organisasi, atau ketakutan kehilangan posisi.
Padahal, di balik diam itu, ada dosa besar yang sedang dibungkus dengan jubah kesalehan. Mereka mendidik santri bukan untuk berpikir kritis, tapi untuk patuh tanpa tanya. Para santri yang hafal Al-Qur’an dijadikan alat legitimasi moral, sementara para ustaznya berpesta di klub malam.
Ketika Kekuasaan Menjadi Tuhan Baru
Yang paling menakutkan bukanlah korupsi itu sendiri, tapi normalisasi terhadapnya. Banyak dari mereka yang berkata, “Di mana-mana juga sama, sudah sistemnya begitu.” Kalimat itu bukan sekadar pembenaran, tapi bentuk kekalahan spiritual.
Ulama yang seharusnya menjadi pelita justru menyalakan api di tengah gelap. Mereka menukar nilai-nilai kejujuran dengan kekuasaan, dan menjadikan agama sekadar alat tawar-menawar politik.
Tak heran, dana umat mengalir ke kantong politisi, polisi, bahkan militer. Uang suci itu berputar di meja kekuasaan, bukan di tangan mereka yang berhak menerimanya.
Ironi di Balik Jubah Putih: Ketika Dajal Pun Minder
Dajal pun bakal minder ketemu mereka. Sebab, apa pun bisa dikorupsi — Al-Qur’an, dana pendidikan, bahkan nama Tuhan sendiri.
Mereka yang sering mengucap “haram” justru paling lihai dalam memanipulasi hukum agama demi keuntungan pribadi. Hafalan hadis dan ayat tak lagi jadi sumber kebijaksanaan, melainkan alat pembenaran untuk menghalalkan kerakusan.
Rakyat Kecil, Ibadah yang Tertunda, dan Ketimpangan yang Disucikan
Ada ratusan ribu calon jemaah haji yang sudah menabung bertahun-tahun. Namun di tahun 2024, jatah mereka justru dipangkas. Dari 92% kuota untuk rakyat biasa, turun drastis karena separuhnya dialihkan untuk “fast track” jamaah berduit.
Yang membayar miliaran bisa langsung berangkat. Sementara yang miskin hanya bisa menatap layar berita, menunggu nama mereka naik di daftar antrean yang tak kunjung bergerak.
Begitulah wajah ketimpangan yang disucikan atas nama agama.
Ketika Kebenaran Harus Disuarakan Sendirian
Mereka ingin perubahan, tapi takut kehilangan posisi. Ironi terbesar adalah ketika orang yang berani berkata benar justru dianggap sesat. Namun sebagaimana sejarah mencatat, setiap pembaharuan pasti dimulai dari suara yang berani melawan arus — meski hanya satu.
Agama Bukan Dagangan
Di tengah carut-marut moralitas ini, satu hal perlu diingat: agama tidak salah, manusialah yang memperdagangkannya.
Selama masih ada yang menjadikan ayat suci sebagai modal bisnis, ibadah akan terus ternoda oleh kerakusan.
jika ingin melihat wajah kemunafikan sejati, carilah di tempat yang paling suci. Karena di sanalah, terkadang, dosa terbesar disembunyikan dengan paling rapi.
Comments
Post a Comment