Ketika Puisi Kuno Menjadi Peringatan untuk Manusia Modern

Sekitar 4.200 tahun yang lalu, di tanah Mesopotamia yang subur, seorang penyair bernama Atrahasis menulis sebuah puisi yang ternyata lebih relevan dari apa pun yang ditulis manusia modern. Dalam puisinya, ia menggambarkan bagaimana para dewa marah karena manusia terlalu banyak, terlalu berisik, dan terlalu rakus. Maka, datanglah keputusan: bumi perlu “dibersihkan.”

Cerita ini mungkin terdengar mitologis, tapi pola pikir di baliknya terasa begitu nyata. Atrahasis bukan sekadar bercerita tentang banjir besar, tetapi tentang kejemuan terhadap keramaian dan ketidakseimbangan populasi.

Overpopulasi di Zaman Batu: Masalah Lama dengan Wajah Baru

Lucunya, pada masa Atrahasis, jumlah manusia di bumi diperkirakan baru sekitar 25–50 juta jiwa. Tapi di matanya, itu sudah terlalu ramai. Ia melihat Babilonia kuno yang menampung sekitar 100 ribu orang sebagai kota yang sesak, penuh kegaduhan, dan penuh keluhan. Mungkin dari situ lahir ide “penghapusan populasi” lewat banjir besar — sebuah simbol dari “reset” kehidupan.

Kini, ribuan tahun kemudian, kita menghadapi hal yang sama dalam bentuk berbeda: krisis lingkungan, kelangkaan pangan, dan ketimpangan ekonomi. Dunia makin ramai, tapi tidak semua orang menikmati hasil keramaiannya.

Kisah Atrahasis dan Bahtera yang Mengilhami Banyak Agama

Yang menarik, kisah Utnapistim dalam puisi Atrahasis — tentang sosok yang diperintahkan dewa untuk membangun bahtera dan menyelamatkan kehidupan — terdengar sangat mirip dengan cerita Nabi Nuh dalam Al-Qur’an dan Alkitab.

Perbedaannya? Atrahasis menulisnya ribuan tahun sebelum dua kitab suci itu ada. Itu artinya, gagasan tentang “penyelamatan manusia dari keserakahan dan kebisingan dunia” sudah ada sejak awal peradaban. Banyak budaya lain — dari Cina hingga Mesoamerika — memiliki kisah banjir besar yang serupa. Seolah seluruh umat manusia pernah menyimpan trauma kolektif tentang populasi yang tak terkendali.

Ilmuwan Modern dan Rumus Jumlah Ideal Manusia di Bumi

Zaman berganti, dewa-dewi berganti nama jadi data, riset, dan jurnal ilmiah. Tapi intinya sama: manusia masih bingung berapa jumlah ideal manusia di bumi.

Beberapa penelitian modern mencoba menjawab:

1. David Pimentel memperkirakan daya dukung bumi hanya sekitar 2 miliar manusia.

2. Paul dan Anne Ehrlich bahkan lebih ketat, hanya 1,5 miliar orang agar sumber daya tetap seimbang.

3. Australia Health Science menyebut idealnya antara 1–2 miliar.

4. Lotka-Volterra model memberi batas maksimal 10,2 miliar.

5. Sementara teori Haro & Chat Zzin Pires memperkirakan kisaran 6–17 miliar.

6. Dan yang paling ekstrem, Alli Theory, hanya memberi batas 500 juta–2 miliar manusia.

Semua sepakat pada satu hal: bumi punya batas kesabaran.

Paradoks Kemajuan: Kaya Karena Ada yang Dikalahkan

Manusia modern sering membanggakan kemajuan teknologi — AI, robot, energi hijau, semuanya terdengar hebat. Tapi di balik itu ada sisi gelap.

Kemajuan di satu wilayah lahir dari penderitaan wilayah lain. Negara maju bisa hidup nyaman karena ada negara miskin yang dikuras sumber dayanya.

Contohnya jelas: AS kaya karena menjual senjata ke negara konflik, TikTok tumbuh karena menciptakan kebodohan massal yang menghasilkan uang, dan negara maju memperkaya diri lewat ketimpangan global.

Jadi, setiap gedung pencakar langit yang berdiri di satu sisi bumi, mungkin berarti ada satu keluarga di sisi lain yang kehilangan rumahnya.

Plato dan Rumus Populasi Ideal: 5.040 Warga untuk Kota yang Sehat

Ribuan tahun sebelum para ilmuwan menghitung daya dukung bumi, Plato sudah menulis rumus sosial dalam bukunya Republic.

Menurutnya, kota yang sehat tidak boleh berisi lebih dari 5.040 orang. Jika lebih, maka lahirlah ketimpangan, keserakahan, dan perebutan sumber daya.

Tentu, angka itu tidak relevan hari ini. Tapi idenya abadi — bahwa terlalu banyak manusia berarti semakin kecil jatah keadilan.

Thomas Malthus dan Rumus Deret Populasi yang Menakutkan

Pada abad ke-18, Thomas Malthus menulis esai legendaris tentang populasi. Ia bilang: manusia suka makan dan suka bereproduksi — dua hal yang tampak sederhana tapi bisa menghancurkan dunia.

Menurut Malthus, populasi tumbuh secara eksponensial, sementara produksi pangan hanya tumbuh linear. Akibatnya, akan datang masa di mana manusia lapar karena bumi tak sanggup lagi menanggungnya.

Dan faktanya, teori itu kini mulai terasa: harga pangan naik, air bersih menipis, dan lahan hijau berubah jadi beton.

Ketimpangan Global dan Ironi Dunia Modern

Mengapa Amerika dan Jepang bisa makmur, sedangkan banyak negara lain tertinggal? Karena sistem ekonomi dunia tidak diciptakan untuk adil.

Negara kaya memproduksi barang mahal dari bahan mentah murah yang diambil dari negara miskin. Yang satu tumbuh, yang lain tenggelam.

Fenomena ini menciptakan loop tak berujung: semakin banyak populasi di negara berkembang, semakin banyak tenaga murah yang dibutuhkan, dan semakin lama ketimpangan itu dipertahankan.

Proyeksi Masa Depan: Bumi Menuju 2 Miliar Jiwa atau 10 Triliun di Luar Angkasa?

Ilmuwan dan pemimpin dunia punya dua pandangan ekstrem.

Yang pesimis percaya bahwa bumi akan “menyaring” dirinya sendiri — lewat bencana, penyakit, dan krisis — hingga hanya tersisa sekitar 2 miliar manusia.

Tapi ada juga pandangan futuristik seperti Jeff Bezos yang justru ingin manusia mencapai 10 triliun jiwa, tapi tersebar di seluruh planet tata surya. Menurutnya, semakin banyak manusia berarti semakin banyak penemu solusi baru.

Apapun itu, masa depan manusia tampaknya bergantung pada satu hal: seberapa bijak kita hidup hari ini.

Antara Thanos, Atrahasis, dan Kita

Lucu tapi nyata — dari mitos banjir besar Atrahasis hingga film Avengers: Infinity War, manusia selalu punya imajinasi tentang “menyisakan separuh dunia.” Thanos hanyalah versi modern dari Atrahasis, simbol dari ketakutan manusia akan dirinya sendiri.

Jadi, mungkin pertanyaan sesungguhnya bukan “berapa banyak manusia yang boleh hidup,” tapi bagaimana manusia bisa hidup tanpa saling memakan ruang satu sama lain.

Karena kalau sejarah selalu berulang, mungkin banjir besar berikutnya tidak akan datang dari langit, melainkan dari kerakusan yang mengalir di hati manusia sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Cara Bikin Pelanggan Hotel Ngerasa Diperhatiin ala Call Center Indonesia

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia