Analisis Tentang Provokasi, Fog of War, dan Siapa yang Menunggangi Gerakan Rakyat

 

Tak semua yang terlihat murni selalu benar-benar bersih. Begitulah inti pesan dari gerakan massa tersebut pada awalnya memang lahir dari keresahan tulus masyarakat—dari kemarahan terhadap ketidakadilan, korupsi, dan kebijakan yang menekan. Namun, di tengah semangat itu, ada tangan-tangan tersembunyi yang menunggangi situasi demi kepentingan tertentu.

Istilah “ditunggangi” berbeda jauh dengan “didalangi.” Ia tidak menuduh ada pihak yang mengatur segalanya sejak awal, melainkan menyoroti bahwa di tengah gelombang protes murni, ada kelompok lain yang memanfaatkannya untuk menciptakan kekacauan.

Strategi Lama yang Kembali Digunakan di Era Digital

Salah satu konsep paling menarik dalam analisis adalah “fog of war” atau kabut peperangan. Ia menggambarkan situasi di mana masyarakat tidak lagi tahu siapa kawan dan siapa lawan. Ketika kabut itu menebal, publik mudah digiring oleh arus informasi palsu, berita hoaks, dan propaganda yang sengaja disebarkan.

Contohnya, muncul kabar bohong seperti “Sri Mulyani bilang guru adalah beban” atau “gaji DPR naik sampai Rp3 juta per hari.” Kedua isu ini membuat masyarakat terpicu secara emosional, tapi lupa pada tujuan utama demonstrasi: menuntut transparansi, keadilan, dan pemberantasan korupsi.

Di sinilah fog of war bekerja—membuat orang marah tanpa arah, bereaksi tanpa data, dan kehilangan fokus terhadap siapa sebenarnya yang harus dimintai pertanggungjawaban.

Aksi Malam Hari, Pembakaran, dan Gerakan Tanpa Identitas

Ada hal aneh dari pola demonstrasi 2025. Ia menemukan bahwa banyak aksi dilakukan malam hari, tanpa identitas jelas. Tidak ada spanduk aliansi, tidak ada nama organisasi. Bahkan beberapa kelompok mahasiswa dan buruh mengaku tidak ikut turun ke jalan pada hari-hari di mana terjadi kerusuhan dan pembakaran.

Lebih mencurigakan lagi, fasilitas umum seperti halte dan gedung pemerintahan dibakar habis hingga beton pun luluh. Aneh, sebab itu tidak mungkin dilakukan spontan. Apalagi, aksi-aksi itu terjadi serentak di banyak kota—Bandung, Jakarta, Makassar, hingga Nusa Tenggara Barat—semuanya dengan pola yang sama. Ini bukan kebetulan.

Siapa yang mengatur pola serupa di berbagai kota tanpa komando resmi?

Narasi Liar: Dari Jokowi, Prabowo, Hingga Pihak Asing

Ketika publik kehilangan arah, teori liar bermunculan. Ada yang menuduh geng Solo dan Presiden Jokowi sedang berusaha mengguncang pemerintahan agar Gibran naik menggantikan Prabowo. Ada pula yang menyebut PDIP di bawah Megawati sebagai dalang karena partai itu berada di luar koalisi pemerintahan.

Bahkan, sebagian pihak menuding Prabowo sendiri sebagai pencipta kekacauan—untuk menciptakan alasan darurat militer agar kekuasaan sepenuhnya ada di tangan tentara.

Tak berhenti di situ, teori lain menyebut ada campur tangan asing yang ingin melemahkan Indonesia agar tidak tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru.

Namun, semua itu hanyalah spekulasi yang belum tentu benar. Ia tidak menunjuk nama, tapi menyoroti bagaimana narasi-narasi tersebut justru memperkuat kabut peperangan yang membuat rakyat saling curiga.

Logistik Misterius dan Larangan Live TikTok

Meskipun demonstrasi dikatakan spontan, ternyata ada logistik yang tersedia. Dari mana asalnya? Tidak ada kelompok resmi yang mengaku menyiapkan. Selain itu, muncul keanehan di dunia digital—banyak daerah melarang siaran langsung di TikTok selama aksi, tapi video-video kerusuhan justru membanjiri beranda publik.

Artinya, ada pihak yang tetap memiliki akses dan kemampuan teknis untuk menyebarkan rekaman tersebut secara masif, bahkan di tengah pembatasan. Ini mengindikasikan bahwa operasi digitalnya terkoordinasi dengan sangat rapi.

Dari Anti-Korupsi ke Aksi Balas Dendam Emosional

Awalnya, demonstrasi 2025 menuntut keadilan sosial, penghapusan korupsi, dan transparansi pejabat. Namun, ketika propaganda dan hoaks menyebar, arah gerakan pun bergeser. Masyarakat yang awalnya fokus pada pemberantasan koruptor kini justru diarahkan untuk memburu pejabat tertentu karena pernyataan emosional mereka di media.

Inilah bentuk keberhasilan operasi fog of war: mengalihkan kemarahan rakyat dari akar masalah menuju sasaran yang tidak relevan. Rakyat yang berjuang tulus justru dimanfaatkan oleh mereka yang ingin menebar ketakutan dan kekacauan demi keuntungan politik dan ekonomi.

Masyarakat Mulai Sadar dan Menolak Terprovokasi

Namun tak semua rencana berjalan mulus. Seiring waktu, kesadaran publik meningkat. Masyarakat mulai memahami bahwa banyak aksi anarkis bukan dilakukan oleh demonstran sejati, melainkan provokator yang ingin menimbulkan kesan negatif terhadap gerakan rakyat.

Di Bandung, misalnya, masyarakat tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa. Pasar tetap buka, konser tetap ramai, dan rasa takut yang ingin ditanamkan provokator justru tidak berhasil tumbuh.

Jangan Biarkan Aksi Rakyat Ditunggangi

Agar masyarakat tidak mudah tersulut. Jika ada ajakan demonstrasi, pikirkan dulu siapa yang mengorganisir dan apa tujuannya. Jika gerakan itu mulai mengarah ke kekerasan, pembakaran, atau penyerangan pribadi, bisa dipastikan itu bukan bagian dari perjuangan rakyat yang sejati.

Tujuan demonstrasi sejati bukan menghancurkan, tapi memulihkan. Bukan menebar kebencian, tapi menuntut transparansi dan akuntabilitas.

Kembali ke Arah yang Lurus

Demonstrasi seharusnya menjadi ruang koreksi, bukan alat politik bayangan.

“Jangan biarkan amarah murni kita dimanfaatkan. Karena ketika rakyat kehilangan arah, yang menang bukan kebenaran, tapi mereka yang pandai menciptakan kabut.”

Dan di tengah kabut itulah, bangsa ini diuji—bukan dalam kekuatan otot, tapi dalam kejernihan pikir.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Jawab Pertanyaan “Ceritain Tentang Diri Kamu” di Interview Call Center Indonesia

Cara Bikin Pelanggan Hotel Ngerasa Diperhatiin ala Call Center Indonesia

Tips Simulasi Mock Call Center Indonesia