Kritik Teologi Karma Pala
Menarik ketika sebagian masyarakat merasa bahwa setiap tindakan buruk akan berbalik kepada pelakunya. Namun, tidak sedikit pula yang menyadari bahwa kehidupan nyata sering berjalan jauh dari konsep keadilan.
Seseorang yang jujur justru kalah oleh yang licik, yang bekerja keras justru disingkirkan oleh yang bertenaga uang atau koneksi. Lalu, apakah alam benar-benar menimbang moralitas? Atau justru moralitas hanya milik manusia, sedangkan alam berjalan apa adanya?
Di titik inilah konsep “kritik terhadap kepercayaan karma pala dalam ajaran Buddha” muncul sebagai bahan diskusi. Banyak pemikiran teologis mencoba mengaitkan siklus dunia dengan imbalan dan hukuman, padahal tidak ada jaminan semesta bekerja seperti itu.
Membongkar Konsep Karma Pala Menurut Perspektif Logika Modern
Dalam ajaran Buddha dan Hindu, karma pala berarti “buah dari perbuatan”. *Karma* adalah tindakan berdasarkan niat, dan *pala* berarti hasil atau buah. Maka setiap niat baik atau buruk diyakini akan berbuah, baik secara langsung maupun di kehidupan selanjutnya.
Namun muncul kritik: jika Tuhan ada, apakah Ia ikut campur dalam proses itu? Pemikiran Buddha menjawab tidak. Hukum karma bergerak dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Persoalannya, premis ini dibangun di atas asumsi bahwa alam semesta harus adil. Padahal, konsep adil sendiri adalah ide manusia.
Kata “pahala” dalam bahasa Indonesia pun berasal dari kata “pala”—buah dari perbuatan. Perpaduan linguistik ini menunjukkan bagaimana keyakinan tentang imbalan moral telah hidup sangat lama di budaya Nusantara.
Masalahnya, Bagaimana Bila Keadilan Tidak Pernah Ada?
Jika keadilan hanya lahir dari pikiran manusia, maka tidak ada keharusan bahwa alam semesta harus berlaku adil. Bumi berputar, lempeng bergerak, banjir datang, gunung meletus—itu semua bagian dari mekanisme geologis. Tidak ada elemen moral di dalamnya.
Ketika gempa bumi meruntuhkan sebuah desa, alam tidak sedang menghukum siapa pun. Tetapi manusia menyebutnya “bencana” karena manusialah yang menjadi korban. Bagi bumi, itu hanyalah proses fisik biasa.
Maka pertanyaan filosofisnya menjadi tajam:
“Jika alam tidak bermoral, mengapa perbuatan manusia harus menunggu imbalan kosmis?”
Hubungan Konsep Keadilan, Surga-Neraka, dan Karma Pala
Sistem Abrahamik mengajarkan bahwa orang baik mendapat pahala di dunia atau di akhirat. Bila tidak, surga menjadi kompensasi. Pelaku kejahatan yang lolos dari hukum dunia akan menerima siksaan di neraka.
Sementara ajaran karma pala menganggap bahwa ganjaran diberikan melalui reinkarnasi. Selama sisa karma masih ada, kehidupan berikutnya akan membawa balasan.
Secara struktur, kedua pandangan ini berangkat dari hal yang sama: manusia menolak kenyataan bahwa banyak penjahat hidup nyaman dan banyak orang jujur menderita. Maka lahirlah skenario kosmis untuk mengembalikan keseimbangan imajinatif.
Keadilan Disebut Utopia, Karena Yang Menang Adalah Yang Kuat
Justru fakta di dunia modern mematahkan gagasan “semua akan dibalas setimpal”. Yang kuat secara finansial, sosial, atau intelektual dapat menutup kejahatan, memanipulasi narasi, bahkan menguasai hukum. Sedangkan orang baik tanpa kekuatan dapat difitnah, dipersekusi, dilupakan.
Karena itulah, sepanjang sejarah, yang menuntut keadilan selalu pihak yang kalah. Pemenang tidak pernah meminta keadilan, karena mereka sudah menikmati kenyamanan.
Maka keadilan bukan aturan alam, melainkan keinginan pribadi dan sosial manusia.
Bencana Alam, Moralitas, dan Salah Kaprah “Tuhan Melindungi yang Tertentu”
Ketika sebuah desa luluh lantak dan hanya satu keluarga selamat, lalu mereka berkata “ini perlindungan Tuhan”, muncul pertanyaan lanjutan: mengapa Tuhan tidak melindungi semua orang?
Sejauh kacamata ilmiah berjalan, tidak pernah ditemukan bukti bahwa bencana terjadi karena dosa, azab, atau moralitas tertentu. Gempa terjadi karena pergeseran lempeng, bukan karena permusuhan terhadap perilaku manusia.
Oleh karena manusia yang menjadi korban, manusia menyebutnya azab, hukuman, atau bencana. Padahal secara geologi, bumi hanya menjalankan mekanismenya sejak jutaan tahun.
Jika Alam Tidak Adil, Lalu Apa Yang Mengatur Kehidupan?
Mungkin jawabannya adalah: kekuatan, keberuntungan, strategi, dan kebiasaan adaptif. Alam bergerak tanpa moralitas. Moral hanya milik manusia. Maka menuntut alam berlaku adil adalah bentuk pemaksaan.
Konsep keadilan kosmis hadir karena manusia tidak mampu menerima bahwa kehidupan bisa saja tidak berpihak pada yang baik. Di ruang psikologis itu, lahir surga, neraka, karma, reinkarnasi, dan seluruh harapan metafisik lain.
Alih-alih menunggu keadilan metafisik, manusia sesungguhnya sedang hidup dalam dunia yang digerakkan oleh kekuatan, kausalitas fisik, dan ketidakteraturan. Kebaikan tetap layak dilakukan bukan karena berharap imbalan, tetapi karena itu menciptakan kehidupan sosial yang lebih manusiawi.
Dan di titik ini, kritik terhadap konsep karma pala bukan untuk merendahkan keyakinan, tetapi menawarkan cara memandang realitas tanpa kacamata spekulasi mistik.

Comments
Post a Comment