Kontroversi Penetapan Pahlawan Nasional Era Modern
Penetapan pahlawan nasional bukan pernah benar-benar berbicara tentang fakta sejarah, melainkan tentang kebutuhan politik dan ideologi suatu periode pemerintahan. Karena itu pula, setiap generasi akan mewarisi versi sejarah yang telah dirapikan untuk menguatkan identitas nasional.
Dan di situlah letak kontroversinya. Deklarasi pahlawan nasional baru, termasuk tercantumnya nama Soeharto dalam daftar tersebut, hanyalah babak terbaru dari mekanisme yang sudah bertahun-tahun bekerja. Banyak pihak marah, tapi mekanismenya sendiri memang sudah lama dipenuhi manipulasi, glorifikasi, dan penghilangan aib.
Narasi Politik dalam Penulisan Sejarah Indonesia Modern
Menariknya, justru bagian paling kelam sering ditempatkan di balik layar. Penulisan sejarah Indonesia sejak awal tidak pernah steril dari kepentingan. Bukan hanya kepentingan kekuasaan, tetapi juga ideologi kebangsaan.
Ketika para pendiri bangsa ingin menyatukan masyarakat yang berbeda-beda bahasa, makanan pokok, suku, dan tradisi, mereka membutuhkan cerita besar yang mampu mempersatukan. Di situlah sejarah direka ulang. Maka lahirlah narasi 350 tahun dijajah, tokoh-tokoh Nusantara dijadikan pahlawan nasional, dan masa lalu dipolitur menjadi mengkilap.
Glorifikasi Tokoh Lokal dalam Buku Pelajaran
Jika ditarik urutannya, manipulasi bukan sesuatu yang baru. Banyak tokoh Nusantara digambarkan hanya dengan sisi heroiknya. Padahal sumber kuno menunjukkan kekerasan perang, kebijakan keras, penaklukan brutal, hingga pembakaran wilayah.
Namun demi kebutuhan identitas bangsa, aib tersebut dihapus. Yang tersisa hanyalah citra mulia seorang pemimpin ideal.
Logikanya sederhana: Identitas negara tidak boleh terlihat buruk, maka sejarah harus tampak sempurna.
Contoh paling dramatis ada pada kisah salah satu pahlawan. Versi sekolah menggambarkan ia sebagai pahlawan yang berpura-pura bergabung dengan Belanda demi merebut senjata. Namun sumber-sumber sezaman memberikan gambaran berbeda: ia benar-benar pernah berada di pihak Belanda sebelum akhirnya bertobat.
Narasi “pura-pura” diciptakan sebagai penyelamat reputasi. Karena bagaimana mungkin seorang pahlawan nasional punya rekam jejak membakar kampung rakyatnya sendiri?
Pahlawan Nasional Indonesia atau Pahlawan Belanda?
Bagian ini sering membuat pembaca tercekat. Seorang pahlawan dielu-elukan sebagai ikon emansipasi wanita Indonesia. Namun sejarah penerbitan bukunya menunjukkan bahwa Belanda sangat berkepentingan menjaga citra kolonial dengan menjadikannya simbol keberhasilan program pendidikan pribumi.
Dari surat-suratnya yang diterbitkan, lahirlah buku Dari Gelap Terbitlah Terang—yang lebih banyak dicetak di Belanda daripada Indonesia.
Yang makin membingungkan, Dia justru memilih menjadi istri ketiga bangsawan tua alih-alih berangkat ke Belanda untuk belajar dan meraih kebebasan yang ia keluhkan dalam surat-suratnya.
Apakah benar semua surat itu ditulis olehnya? Atau hanya narasi politik kolonial yang dibungkus rapi?
Penetapan Pahlawan Nasional di Era Kontemporer
Mengapa tokoh yang terlibat banyak kekerasan politik, korupsi, dan pelanggaran HAM justru diglorifikasi?
Namun jawaban sederhananya adalah:
- Sejarah nasional tidak pernah ditulis berdasarkan fakta.
- Sejarah nasional ditulis berdasarkan kebutuhan ideologi dan politik setiap rezim.
Jika tokoh masa lampau lain dibersihkan dari aibnya, maka tokoh kontemporer pun akan mengalami hal serupa.
Sejarah sebagai Alat Membentuk Identitas Nasional
Tujuan utama penulisan sejarah nasional adalah membentuk identitas kolektif yang kokoh. Identitas semacam itu membutuhkan:
- pahlawan yang suci,
- musuh yang jelas,
- masa lalu yang heroik,
- dan narasi panjang bahwa bangsa ini terlahir dari perjuangan bersama.
Karena itu, setiap cacat moral dalam biografi tokoh akan disembunyikan. Bukan untuk menipu semata, melainkan untuk menjaga stabilitas nasional dan konsistensi narasi kebangsaan.
Alasan Politik di Balik Penetapan Figur Kontroversial
Pemerintah mana pun pasti ingin meninggalkan jejak yang indah di buku sejarah. Bahkan proyek seperti IKN pun dianggap banyak pihak sebagai bagian dari strategi membangun warisan politik agar presiden petahana nantinya diglorifikasi di masa depan.
Sejarah yang kita baca bukan cermin fakta, melainkan hasil editan panjang dari berbagai kepentingan.
Maka wajar bila setiap penetapan pahlawan nasional selalu menimbulkan pro dan kontra.
Kritik objektif terhadap sistem pahlawan nasional Indonesia
Pada akhirnya, pertanyaan besarnya adalah sejak kapan penetapan pahlawan nasional dilakukan berdasarkan fakta sejarah yang objektif?
Ketika sejarah dituliskan untuk ideologi, setiap tokoh—baik, buruk, kelam, maupun kontroversial—pada akhirnya bisa dijadikan simbol kebangsaan bila rezim menginginkannya.
Dan itu sudah berlangsung jauh sebelum hari ini.

Comments
Post a Comment