Integritas Riset Kampus Indonesia Patut Dipertanyakan
Indonesia masuk zona merah integritas akademik di tingkat global. Label ini bukan muncul dari asumsi, tetapi dari pemetaan Research Integrity Index (RRI) yang digagas oleh akademisi American University of Beirut, Profesor Lukman Meho.
Dari 13 kampus Indonesia yang diteliti, tidak satu pun yang berhasil masuk zona putih maupun hijau. Sebuah kenyataan getir yang ironisnya lahir di tengah maraknya produksi karya ilmiah nasional.
Ledakan Jumlah Jurnal Ilmiah: Banyak Namun Tak Bernilai
Di Indonesia, penulisan karya ilmiah kini berada pada level yang benar-benar “banjir bandang”. Mahasiswa diminta menulis untuk lulus proyek, dosen menulis untuk naik jabatan, guru besar menulis demi syarat administratif.
Lonjakan kuantitas tersebut sebenarnya positif bila ditopang integritas. Masalahnya, banyak karya ilmiah yang terbit tidak melalui tahap kurasi ketat, peer review, atau editorial yang kompeten.
Tidak sedikit jurnal ilmiah lokal yang bahkan tidak jelas siapa pengelolanya, tidak memiliki reputasi, dan hanya mengejar setoran terbit demi akreditasi.
Fenomena ini melahirkan publikasi tanpa standar akademik, tanpa rujukan yang solid, dan akhirnya hanya menambah tumpukan arsip digital tanpa manfaat akademik yang nyata.
Mengapa Ranking Kampus Kini Ditentukan Jumlah Publikasi?
Akar persoalan ini berawal dari mekanisme penilaian perguruan tinggi di Indonesia. Semakin banyak jurnal yang diterbitkan, semakin tinggi pula nilai akreditasi kampus tersebut.
Akibat sistem yang menitikberatkan kuantitas, kampus berlomba menambah jurnal baru tanpa memperhatikan kapasitas editorial dan kurasi ilmiah.
Tidak heran bila muncul fenomena joki karya ilmiah, pembelian artikel, pencatutan nama akademisi senior, hingga plagiarisme terselubung.
Bahkan ada kasus skripsi mahasiswa yang “diolah ulang” menjadi artikel jurnal dosen. Semuanya bertumpu pada satu tujuan: akreditasi, bukan integritas.
Zona Merah RRI: Kampus Terkemuka yang Ternyata Bermasalah
Menurut RRI, beberapa kampus besar justru masuk kategori merah atau red flag. Dalam kategori ini, jurnal-jurnal ilmiah dianggap tidak layak dijadikan rujukan karena rendahnya integritas.
Kampus tersebut berada di posisi yang sama sekali tidak membanggakan. Sedangkan kampus lain masuk zona orange—kategori yang tetap mengkhawatirkan karena masalah integritasnya cukup besar. Hanya kampus besar yang masuk zona kuning. Namun zona kuning pun bukan kategori baik—hanya lebih baik dibanding yang lain.
Jurnal Ilmiah Indonesia Banyak, Tapi Jarang Digunakan sebagai Referensi Kebijakan
Karya ilmiah idealnya menjadi referensi akademik sekaligus dasar pengambilan keputusan publik. Namun jurnal-jurnal ilmiah Indonesia justru jarang dikutip, baik oleh akademisi nasional maupun internasional. Penyebabnya sederhana—kualitas dan metodologinya dianggap tidak kredibel.
Ada artikel yang tidak relevan dengan kebutuhan riset nasional, ada yang ditulis hanya demi memenuhi target administratif, bahkan ada yang isinya diambil dari karya ilmiah lain tanpa izin. Banyak pula artikel tematik lokal yang justru dipaksakan berbahasa Inggris demi mengejar skor akreditasi, alih-alih fokus pada substansi penelitian.
Riset Akademik Tanpa Metodologi yang Kokoh
Beberapa dosen maupun akademisi senior bahkan belum memahami metodologi ilmiah secara komprehensif.
Ada cerita tentang penelitian arkeologi yang dilakukan dengan metode salah kaprah—penggalian situs menggunakan alat berat, padahal seharusnya menggunakan ekskavasi bertahap. Kesalahan ini bukan soal alat semata, tetapi mencerminkan lemahnya pondasi metodologis dalam penelitian akademik.
Metode penelitian yang keliru menghasilkan data yang tidak valid, argumen yang mudah dipatahkan, serta kesimpulan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kontroversi Penilaian RRI: Diterima dan Ditolak
Hasil RRI memicu gelombang reaksi. Ada akademisi yang mengakui penelitian tersebut masuk akal, dan ada pula yang menolaknya mentah-mentah.
Sebagian pihak bahkan menuduh proyek ini sebagai “maling teriak maling”—menilai institusi lain buruk padahal belum tentu lebih baik.
Namun bila melihat negara-negara yang masuk kategori putih seperti Jepang, Kanada, atau negara Skandinavia, urutan tersebut terasa masuk akal.
Begitu pula kategori hijau yang dihuni Brasil, Thailand, Spanyol, atau Turki. Pola global tersebut memperkuat bahwa kualitas akademik Indonesia memang masih jauh tertinggal.
Tujuh Masalah Utama Publikasi Ilmiah di Indonesia
Berdasarkan analisis akademisi, terdapat tujuh akar masalah:
- Banyaknya jurnal abal-abal.
- Tidak ada kurasi dan uji sejawat.
- Maraknya joki dan sogokan publikasi.
- Metodologi penelitian lemah.
Plagiarisme terselubung dan duplikasi karya ilmiah.
- Pencatutan nama akademisi terkenal.
- Penelitian tidak relevan dengan kebutuhan publik.
Masalah-masalah ini membentuk lingkaran yang membuat kualitas ilmiah Indonesia stagnan.
Mengapa Banyak Pemikir Lebih Percaya Jurnal Luar Negeri?
Beberapa pengajar atau edukator digital lebih mengandalkan jurnal Barat karena memiliki standar metodologi jelas, peer review ketat, serta kredibilitas yang stabil.
Mengutip jurnal lokal justru mengharuskan verifikasi ulang yang melelahkan karena banyak publikasi tidak memenuhi standar akademik global.
Harapan Belum Padam
Meski realitas ini pahit, bukan berarti Indonesia tidak memiliki harapan. Masih ada banyak akademisi jujur yang bekerja dengan integritas tinggi.
Tantangannya hanyalah memberi ruang bagi para akademisi bersih untuk bicara, memimpin, dan memperbaiki standar publikasi ilmiah agar tidak lagi sekadar mengejar angka akreditasi.
Perbaikan integritas akademik bukan hanya soal kampus, tetapi masa depan sains Indonesia secara keseluruhan.

Comments
Post a Comment