Fenomena Mental Miskin dan Korupsi Terbalik
Sebelum membahas rentetan kejadian dalam resepsi keluarga Gubernur yang menelan korban jiwa, ada simpulan besar yang perlu ditegaskan lebih dulu: kehidupan sosial yang dibangun di atas budaya kolektif bisa berubah menjadi jebakan ketika masuk ke ranah politik modern. Fenomena korupsi terbalik di mana milik pribadi dianggap milik publik hanyalah salah satu efek samping dari sistem nilai kolektif yang tidak dipagari dengan etika administrasi negara.
Insiden Berebut Makan Gratis dan Akar Masalahnya
Dalam acara pernikahan putra Gubernur, terjadi tragedi yang merenggut tiga nyawa: seorang anak, seorang lansia, dan seorang anggota polisi. Peristiwa ini bukan sekadar soal kerumunan. Ia membuka pintu bagi pembahasan lebih luas: kenapa masyarakat mudah kalap hanya karena iming-iming gratis?
Jawabannya mengarah pada satu istilah yang sangat tajam: mental miskin.
Banyak warga yang sebenarnya cukup secara ekonomi, namun tetap merasa lebih miskin daripada kenyataan. Rokok tetap terbeli, kuota internet selalu ada, tetapi pikiran tetap berputar pada ketakutan tidak mampu bertahan hidup. Pola pikir inferior inilah yang menjadi bahan bakar sosial yang mempermudah politisi mengulang narasi: kalian miskin, kami penyelamat.
Budaya Kolektif Sunda–Jawa yang Menjadi Pisau Bermata Dua
Masyarakat kolektif seperti Sunda dan Jawa memiliki batas yang kabur antara barang pribadi dan barang bersama. Contohnya:
- cangkul disimpan di luar rumah agar bisa dipinjam siapa saja
- trotoar dianggap boleh dipakai berjualan
- jalan umum bisa ditutup untuk hajatan
- sumur bersama menjadi pusat interaksi sosial
Konsep punya masyarakat berarti juga punya saya dan punya saya boleh dimanfaatkan masyarakat memang memperkuat gotong royong. Namun di sisi lain, kebiasaan ini melemahkan pemahaman tentang hak privat dan hak publik, yang menjadi dasar penting tata kelola modern.
Dari Budaya Kolektif ke Korupsi Terbalik
Biasanya kita mengenal korupsi sebagai perilaku pejabat yang menganggap uang rakyat sebagai uang pribadi. Namun versi yang dibahas adalah kebalikannya:
Uang pribadi dianggap sebagai uang rakyat
Fenomena ini terlihat ketika Gubernur:
- memberikan ganti rugi memakai uang pribadi
- menyumbang pada korban persekusi berbasis agama dengan dana pribadi
- membantu warga miskin tanpa mekanisme administrasi negara
- menyampaikan belasungkawa atas nama gubernur untuk peristiwa dalam acara pribadi
Dalam kacamata masyarakat kolektif, ini terlihat mulia. Namun dalam konsep good governance, justru ini masalah besar.
Risiko Sistemik: One Man Show dalam Pemerintahan
Ketika setiap solusi datang dari satu figur pemimpin, efeknya adalah:
1. Pemerintah tidak terlihat bekerja, karena sorotan hanya pada individu.
2. Terbentuk kultus personal, seolah pemimpin adalah penyelamat tunggal.
3. Birokrasi menjadi tidak relevan karena kebaikan diukur dari “siapa memberi bantuan”, bukan kualitas kebijakan.
4. Pemimpin berikutnya akan terbebani standar yang tidak realistis.
Rakyat akhirnya menilai pemerintahan bukan dengan indikator real (regulasi, tata kelola, layanan publik), tetapi dengan pertanyaan sederhana: Apakah ia memberi saya bantuan?
Money Politics yang Terus Menguat
Bantuan pribadi pejabat dapat menciptakan persepsi tak kasat mata:
- rakyat merasa punya hutang budi
- kritik menjadi tabu
- dukungan politik menjadi otomatis
- kekuasaan terkonsentrasi pada satu tokoh
Ini adalah kondisi yang menurut filsafat politik modern sangat rawan.
Kultus Individu dan Matinya Rasionalitas Publik
Jika dibiarkan, masyarakat akan lebih percaya pada figur dibanding sistem. Inilah awal patronase: yang memberi saya baik — yang tidak memberi saya buruk.
Pemimpin kemudian tidak lagi dinilai dari:
- kebijakan tata ruang
- reformasi administrasi
- efektivitas anggaran
- pembangunan ekonomi
melainkan dari seberapa banyak kebaikan personal yang ia tunjukkan secara demonstratif.
Tantangan Besar Indonesia
Masalah terbesar negeri ini bukan sekadar kemiskinan, tetapi mental miskin dan kaburnya batas antara wilayah publik dan wilayah privat. Selama dua hal ini tidak diperbaiki, tragedi kerumunan seperti di acara Gubernur, fenomena money politics, hingga kultus individu akan terus terulang. Saatnya mengubah cara berpikir masyarakat optimis, rasional, dan tidak inferior.

Comments
Post a Comment