Fenomena Intoleransi Rumah Ibadah di Indonesia
Benarkah kasus penyegelan gereja hanyalah insiden kecil yang terjadi di titik-titik tertentu? Banyak yang ingin mempercayainya begitu, namun deretan data justru menggiring pada kesimpulan yang berlawanan.
Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 1000 gereja dirusak atau dibakar antara tahun 2000–2015. Angka lain menyebut sekitar 200 gereja disegel dalam rentang 2007–2021.
Jika angka ini hanya disebut sekilas, mungkin tampak sebagai deretan statistik kaku. Namun ketika disandingkan dengan kejadian terbaru—seperti demonstrasi di Depok tahun 2025 atau penggerebekan pelajar Kristen di Cidahu—kita justru melihat sebuah pola, bukan sekadar peristiwa terpisah.
Jumlah Masjid vs Gereja: Ketimpangan yang Tidak Bisa Diabaikan
Di Indonesia, populasi umat muslim tahun 2025 tercatat sekitar 245 juta jiwa atau 87% penduduk. Sementara itu umat Katolik berjumlah 8,6 juta, dan umat Kristen Protestan sekitar 21 juta jiwa. Bersama-sama totalnya mencapai sekitar 11% populasi nasional.
Namun ketika jumlah rumah ibadah dipetakan, proporsinya menunjukkan ketidakseimbangan yang terlalu besar untuk disebut kebetulan.
Masjid menurut Dewan Masjid Indonesia: ± 800.000 bangunan
Masjid + mushala jika dihitung total: bisa menembus 1 juta titik
Data Kementerian Agama justru menyebut 300.000 masjid terdaftar, artinya ratusan ribu masjid berdiri tanpa izin formal
Gereja Protestan: ± 60.700
Gereja Katolik: ± 13.948
Total gereja seluruh denominasi: ± 74.000
Jika mengikuti proporsi populasi seharusnya gereja berjumlah lebih dari 100.000 bangunan. Kekurangan sekitar 25% ini mengindikasikan hambatan administratif maupun sosial dalam pendirian gereja, mulai dari proses izin yang berlarut-larut hingga resistensi lingkungan sekitar.
Mengapa Jawa Barat Menjadi Sorotan?
Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar ini menunjukkan dinamika paling jomplang. Dengan hampir 1 juta umat Kristen & Katolik, jumlah rumah ibadah mereka hanya sekitar 400 bangunan.
Bandingkan dengan Aceh, yang memiliki penegakan hukum Syariah tetapi populasi Kristen jauh lebih kecil (sekitar 23.000 orang). Gereja di Aceh ± 200 bangunan—proporsinya justru lebih logis.
Jawa Barat menjadi pusat resistensi bukan hanya karena faktor populasi, tetapi karena lingkungan sosial dan narasi keagamaan yang berkembang selama bertahun-tahun.
Ketakutan Murtad: Mengapa Isu Kristenisasi Mudah Meledak?
Dalam ranah sosial-keagamaan, persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas statistik. Salah satu penyebab utama resistensi terhadap pembangunan gereja adalah ketakutan terhadap murtadisasi.
Ada berbagai data yang beredar:
Kaum evangelis disebut meningkat 3 kali lipat dalam 50 tahun, lebih cepat dari laju pertumbuhan agama lain
Klaim 2,7 juta orang pindah ke Kristen setiap tahun
Klaim ekstrem: 2 juta muslim Indonesia pindah agama setiap tahun
Proyeksi palsu: Indonesia akan mayoritas Kristen tahun 2035
Mayoritas klaim tersebut berasal dari kelompok evangelis sendiri untuk memotivasi internal mereka. Namun narasi-narasi bombastis itu kemudian tersebar di internet, dikutip tanpa verifikasi, dan akhirnya menciptakan ketakutan massal pada sebagian kelompok muslim.
Ditambah lagi dengan keberadaan:
Brosur-brosur kristenisasi beratribut Islami
Buku-buku bermuka islami tetapi bermuatan evangelis
Kanal “Isa & Al-Qur’an” atau konten berpenampilan Islami tetapi berisi ajakan menuju Kristen
Kelompok radikal akhirnya menjadikan isu ini alasan untuk mencegah pendirian gereja, bahkan ketika gereja tersebut sudah mengantongi izin resmi.
Apakah Kristenisasi Benar-Benar Masif?
Ketika diuji dengan data resmi, gambaran sebenarnya jauh lebih kompleks:
Tahun 2019 jumlah umat Kristen Protestan 7,6%
Tahun 2023 justru turun menjadi 7,4%
Konversi dari Islam → Kristen memang ada, tetapi konversi Kristen → Islam juga signifikan
Perpindahan terbesar justru terjadi ke arah tidak beragama / ateis, bukan ke agama lain
Kristenisasi terbesar secara global malah terjadi di Brazil, bukan di Indonesia
Maka narasi “Indonesia akan segera jadi negara Kristen” tidak memiliki landasan statistik.
Mengapa Masjid Lebih Mudah Berdiri?
Salah satu penjelasan paling masuk akal adalah kebutuhan ibadah umat Islam yang dilakukan 5 kali sehari. Hal ini membuat banyak tempat umum menyediakan musala atau masjid sebagai fasilitas publik.
Selain itu banyak masjid dibangun terlebih dahulu, izinnya menyusul kemudian—sesuatu yang sulit terjadi pada gereja. Bagi umat Kristen/Katolik, mendapatkan izin bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal penerimaan sosial lingkungan sekitar.
Kedua Sisi Sama-Sama Punya Andil
Jika intoleransi muncul di satu sisi, provokasi juga muncul di sisi lain. Grup evangelis ekstrem mendorong narasi kristenisasi global. Sebaliknya kelompok muslim radikal memanfaatkan narasi ini untuk menekan pendirian gereja.
Pada akhirnya masyarakat umum—yang tidak punya pengetahuan komprehensif—menjadi korban ketakutan yang direkayasa.
Antara Data, Persepsi, dan Masa Depan Kehidupan Beragama
Isu intoleransi tidak pernah sesederhana angka statistik, tetapi juga tidak bisa hanya dibahas berdasarkan perasaan atau narasi sepihak. Yang diperlukan adalah:
- Transparansi data
- Regulasi pendirian rumah ibadah yang adil
- Edukasi publik untuk memfilter narasi provokatif
Evaluasi internal setiap agama terhadap oknum yang menggunakan cara tidak etis dalam dakwah atau misi keagamaan
Indonesia tidak akan stabil tanpa rasa saling percaya antar kelompok agama. Dan rasa percaya hanya mungkin tumbuh bila data dibaca dengan jujur, narasi tidak diledakkan, dan semua pihak mau introspeksi.

Comments
Post a Comment