Dampak Tarif 19% ke Amerika Serikat & Akses Penuh ke Mineral Indonesia

 

Pada akhirnya, sebagian analis menyimpulkan bahwa kesepakatan tarif 19% ekspor Indonesia ke Amerika Serikat bukanlah bencana ekonomi, bukan pula kemenangan telak diplomasi.

Justru, yang mencuat adalah satu hal: wake up call tentang cara Indonesia mengelola mineral, tambang, serta hilirisasi. Itu inti paling mahal dibanding soal Boeing, gandum, atau BBM.

Akses Penuh Amerika ke Mineral Indonesia: Ancaman atau Momentum Transparansi?

Manuver Washington untuk memperoleh akses penuh terhadap data mineral Indonesia membuat sebagian orang langsung bersuara keras: “hilirisasi bisa digagalkan,” “nikel akan diambil mentah,” dan “harga diri bangsa diinjak.”

Namun bagi sebagian ekonom, justru keterbukaan ini membuka kotak pandora: selama bertahun-tahun *brutal mining- terjadi, pembeli asing membayar hanya satu komponen termurah dari sebuah mineral, padahal kandungan lain di dalam bongkahan tanah jauh lebih mahal.

- Timah dibayar timahnya, padahal kandungan thorium ikut terambil.

- Konsentrat tembaga dibayar hanya copper, padahal di dalamnya ada emas, platinum, uranium, hingga neodimium.

- Nikel laterit dibayar sebagai nikel, sementara unsur lithium dan rare earth ikut “terbawa pulang.”

Ironisnya, selama ini jalur itu berjalan mulus karena data geologi tidak transparan, smelter banyak dikendalikan pembeli, dan akademisi jarang mengkritik.

Keuntungan & Kerugian Tarif Ekspor 19% — Tapi Justru Konsumen Amerika yang Bayar

Di awal isu, publik sempat ribut: apa Indonesia akan rugi besar karena barang menjadi lebih mahal di pasar Amerika?

Jawabannya tidak sesederhana itu.

- Tarif 19% dikenakan pada barang asal Indonesia.

- Tetapi pembayar tarif adalah konsumen Amerika.

- Mereka tetap membeli sepatu, garmen, tekstil, dan komoditas lain dari pabrik Indonesia.

Jadi dalam perdagangan B2B kontraktual, bukan retail bebas yang saling banting harga. Pabrik tetap memasok, dan banyak perusahaan Amerika sangat tergantung pada manufaktur Indonesia untuk sepatu, pakaian, dan produk berbasis karet.

Dampak Tarif Ekspor Sepatu Indonesia ke Amerika Serikat

Menurut beberapa analis perdagangan internasional, strategi ini justru menekan pasar dalam negeri AS. Jika impor dari Indonesia tetap mereka perlukan, tarif tinggi hanya membuat barang yang sama menjadi lebih mahal bagi warganya sendiri.

Kita Tetap Akan Membeli Gandum, Kedelai, dan BBM – Dengan atau Tanpa Kesepakatan Trump

Poin lain yang sempat dipuji sekaligus dicibir adalah kewajiban Indonesia membeli:

1. BBM & gas dari Amerika

2. Komoditas pertanian senilai USD 4,5 miliar

3. Boeing

Namun dalam kenyataan:

- Indonesia memang sudah menjadi importir BBM.

- Konsumsi gandum nasional tinggi karena roti, mie instan, industri tepung.

- Kedelai impor tetap masuk demi produksi tempe dan industri protein nabati.

Artinya, kewajiban ini bukan pemaksaan sepihak. Negara tetap butuh barang tersebut, terlepas ada atau tidaknya perjanjian politik.

Masalah Boeing 737 Max dan Risiko Indonesia Jika Membeli Pesawat Baru

Perdebatan justru muncul di pesawat Boeing. Setelah dua kecelakaan fatal, grounding internasional, serta isu pada Boeing 787, publik bertanya:

- mengapa Indonesia harus membeli Boeing?

- apakah Airbus tidak lebih aman?

Produksinya pun terhambat. Untuk satu pesawat baru, antrean bisa mencapai 10–11 tahun. Karena itu, maskapai lebih sering membeli pesawat bekas atau rekondisi.

Jadi walaupun ada klausul “membeli Boeing”, pengiriman tidak akan instan. Bahkan bisa lewat dua presiden lagi.

Justru Bagian Paling Penting Ada Pada Mineral: Hilirisasi atau Mentah Lagi?

Kritik terbesar datang dari ketakutan bahwa Amerika:

- akan mengambil nikel mentah

- menggagalkan hilirisasi

- menyingkirkan China dalam perebutan baterai masa depan

Namun, kesepakatan ini belum menyentuh teknis final. Semua masih berupa “presidential order / executive note” (setara Perpres), tanpa lampiran teknis detail.

Detail kontrak biasanya muncul dalam adendum, lobi diplomatik, negosiasi parlemen, dan kontrak B2B korporasi. Pemerintah masih bisa menolak:

- ekspor mentah

- hilirisasi di luar negeri

- teknologi cracking berpindah ke negara lain

Jika cerdas, Indonesia bisa menuntut:

- smelter dan cracking wajib di Indonesia

- produk jadi baru boleh diekspor

- pembayaran mineral harus berdasarkan seluruh konten, bukan elemen termurah

Justru keterbukaan data mineral membuka peluang untuk menghentikan praktik puluhan tahun: negara penambang yang hanya menjual “kulit”, sementara kekayaan di bagian terdalam diberi gratis ke negara lain.

Risiko Brutal Mining dan Kerugian Negara Tanpa Transparansi Data Geologi

Istilah brutal mining muncul karena:

- data tidak dicatat

- ikutan mineral dibuang

- negara hanya dibayar satu komponen

- laboratorium luar negeri memecah sisanya menjadi emas, platinum, tantanum, neodimium, litium

China unggul bukan karena tambangnya terbanyak, tetapi karena laboratorium daur ekstraksi dan hydro-cracking berjalan maksimal.

Jadi, Untung atau Rugi Indonesia?

Jawabannya ironis: dua-duanya tidak salah.

- Untung — jika transparansi mineral membuat negara dibayar berdasarkan total kandungan, bukan komponen termurah

- Rugi — jika hilirisasi kembali bocor dan nikel mentah dijual keluar

Kesepakatan ini bukan finale. Masih ada:

- diplomasi lanjutan,

- pembahasan teknis,

- adendum kontrak,

- penentuan lokasi hilirisasi,

- dan potensi transfer teknologi.

Pertarungan ekonomi baru mulai, bukan selesai.

Kesepakatan Prabowo–Trump sebenarnya tidak bisa dinilai dari satu paragraf media. Tarif 19%, kewajiban impor, serta wacana akses mineral semuanya bergantung pada implementasi kontrak, bukan pernyataan pidato.

Jika pemerintah memainkan kartu dengan benar, Indonesia justru bisa memaksa:

- cracking baterai di Indonesia,

- hilirisasi nikel menjadi produk jadi,

- pembayaran berdasarkan platinum, uranium, gold, torium, litium, dan rare earth lain.

Kuncinya hanya satu: jangan kembali menjadi negara penjual tanah mentah.

Strategi Indonesia Menghadapi Perang Ekonomi Amerika vs China

Karena perebutan baterai, EV, dan energi masa depan tidak akan berhenti. Indonesia punya kunci: nikel, tembaga, timah, torium, litium, rare earth.

Siapa yang menguasai hilirisasi, menguasai masa depan energi.

Kesepakatan ini bukan about Trump, bukan tentang tarif 19%, tetapi tentang bagaimana Indonesia mengelola perut bumi sendiri. Jika negeri ini masih menjual mineral dengan harga termurah, maka siapapun pembeli—China, Amerika, atau Eropa—akan selalu menang.

Jika bangsa mau berubah, hilirisasi di dalam negeri wajib hukumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia