Asal-Usul Budaya Betawi, Warisan VOC, dan Tradisi Bakar Sampah yang Masih Hidup di Jakarta
Sebelum ada istilah “Jakarta Metropolitan”, dulunya kota ini bernama Batavia, hasil gubahan VOC setelah merebut Jayakarta dari kesultanan lokal pada tahun 1619. Nama Batavia bukan sekadar nama, tapi bentuk kebanggaan kolonial Belanda terhadap leluhur mereka, suku Batavi, yang dianggap sebagai simbol kejayaan bangsa Eropa.
Ketika Jakarta Adalah Batavia: Kota yang Diciptakan dari Campuran Dunia
Sejak saat itu, Batavia menjadi pusat perdagangan Asia VOC, pelabuhan transit yang menghubungkan rempah Nusantara dengan pasar dunia. Tapi di balik megahnya, kota ini adalah laboratorium sosial kolonial — tempat berbagai bangsa dikumpulkan, dipisahkan, dan dikendalikan dalam satu sistem yang sangat rapi namun kejam.
VOC dan Proyek Multietnis: Dari Cina hingga Afrika di Batavia
Batavia sejak awal sudah multietnis dan multibahasa. Ada Tionghoa, Arab, Persia, India, Sunda, Jawa, Bugis, Ambon, Maluku, bahkan budak-budak dari Afrika dan Asia Tenggara. Semua didatangkan dengan fungsi sosial yang berbeda.
- Etnis Tionghoa berperan sebagai pengrajin dan pedagang.
- Sunda dan Jawa ditempatkan sebagai pekerja kasar tanpa akses sosial tinggi.
- Bugis dan Maluku dijadikan serdadu VOC.
- India, Yaman, dan Persia dipanggil menjadi tokoh agama untuk mengontrol umat agar tidak memberontak.
- Budak Afrika dan Asia Tenggara menjadi tenaga kerja terbesar, sekitar 30–40% populasi.
Masyarakat Belanda hanya sekitar 5–10% dari total penduduk, tapi menguasai seluruh sistem sosial dan ekonomi. Mereka tinggal di kawasan elit — Kota Tua — sementara kelompok lain disebar mengelilinginya sesuai “tingkat kebersihan” dan “fungsi politis”.
Tata Kota VOC dan Lahirnya Segregasi Sosial di Batavia
Model penataan Batavia dibuat dengan konsep “pemisahan untuk kekuasaan”.
Belanda menempatkan diri di pusat kota, dikelilingi oleh lapisan-lapisan etnis lain yang berfungsi sebagai tameng:
- Di selatan Kota Tua, ada permukiman Tionghoa.
- Di tenggara, terdapat komunitas Arab, India, dan Persia.
- Lebih jauh ke selatan, baru ada Sunda dan Jawa, lapisan terendah dalam hierarki sosial kolonial.
Tujuan sistem ini sederhana: VOC ingin menjajah tanpa menyentuh langsung pribumi. Maka lahirlah stigma dan jarak sosial — orang Betawi diwarisi kebiasaan curiga terhadap etnis tertentu (terutama Tionghoa) dan merasa inferior di hadapan kaum Arab atau habib.
Geger Pecinan 1740: Saat Warga Tionghoa Melawan Batavia
Sebuah bab penting dalam sejarah VOC adalah pemberontakan besar etnis Tionghoa pada tahun 1740. Ribuan orang Cina yang ditempatkan di Batavia akhirnya memberontak setelah merasa ditindas dan dipaksa tunduk oleh sistem monopoli VOC.
Tidak semua Tionghoa menjadi penjilat penguasa. Banyak di antara mereka justru melawan, bahkan berkorban jiwa. Begitu pula dengan ulama-ulama Arab dan Persia — sebagian memang dijadikan perantara kekuasaan, namun ada juga yang berpihak pada rakyat kecil dan menolak kebijakan kolonial.
Campuran Darah dan Lahirnya Identitas Betawi
Akibat percampuran yang terus menerus, orang Betawi modern memiliki ciri fisik yang sangat beragam: ada yang mirip Cina, Arab, Afrika, hingga Eropa.
Campuran darah ini bukan sekadar biologi, tapi juga cultural hybrid — tercermin pada bahasa, musik, dan tradisi Betawi yang memadukan unsur Portugis, India, Arab, dan lokal Nusantara.
Namun di balik pluralitas itu, VOC meninggalkan warisan sosial yang lebih dalam: rasa minder dan terpecah-belah secara sosial. Seperti sampai hari ini, warisan itu masih terasa — dari cara berpikir, gaya hidup, hingga sistem kelas sosial yang tidak pernah hilang.
Kesalahan Fatal VOC: Menyalin Tata Kota Amsterdam ke Batavia
Satu hal yang jarang dibicarakan: VOC melakukan kesalahan besar dalam desain kota.
Batavia dibangun meniru tata kota Amsterdam, dengan gang sempit, bangunan rapat, dan saluran air terbuka.
Masalahnya, iklim tropis Batavia berbeda total dari Amsterdam yang dingin.
Limbah di Eropa bisa membeku, sementara di Batavia justru membusuk.
Hasilnya? Wabah malaria, kolera, dan pes menjadikan Batavia “kuburan orang Belanda”.
Catatan sejarah menunjukkan, dari 60.000 penduduk Batavia, ada 300–700 kematian per tahun, dan ketika wabah datang, angka itu bisa melonjak menjadi 3.000–6.000 jiwa.
Dari Fogging VOC ke Kebiasaan Bakar Sampah di Indonesia
Untuk mengatasi malaria, orang Belanda pada abad ke-17 memerintahkan warga Batavia untuk membakar sampah dan daun setiap sore.
Asap dianggap bisa mengusir nyamuk — sebuah versi awal dari fogging tradisional.
Kebiasaan ini kemudian diwariskan ke masyarakat Betawi, lalu menyebar ke seluruh Indonesia.
Ironisnya, di masa modern, bakar sampah justru menjadi penyebab utama polusi udara.
Data menunjukkan, kerugian akibat polusi udara di Indonesia mencapai 60 triliun rupiah per tahun.
“Tradisi bakar sampah itu tidak logis. Ia lahir dari ketakutan kolonial, bukan dari kebutuhan ekologis.”
Namun hingga kini, bahkan tokoh besar pun masih melakukannya — bukti kuat bahwa VOC masih hidup dalam kebiasaan sehari-hari kita.
Dari Malaria ke Menteng: Perpindahan Batavia Baru
Setelah wabah tak terkendali, Belanda akhirnya memindahkan pusat Batavia dari Kota Tua ke wilayah yang lebih tinggi, yaitu Gambir, Menteng, hingga kawasan Monas sekarang.
Daerah baru itu lebih aman dari malaria karena jauh dari pantai dan rawa.
Kini, Jakarta Pusat menjadi jantung pemerintahan dan ekonomi — sebuah warisan tata ruang kolonial yang masih kita jalani tanpa sadar.
Warisan Tak Kasat Mata: Uang “Duit” dan Mental Terjajah
Menariknya, bahkan kata “duit” yang kita pakai hingga sekarang berasal dari mata uang VOC.
Nama aslinya “*duit talent*” — koin tembaga kecil yang dulu beredar di Batavia.
Artinya, VOC tidak hanya meninggalkan bangunan dan sistem, tapi juga bahasa dan mentalitas ekonomi.
“Kita mungkin sudah merdeka secara politik, tapi belum secara budaya.”
Revolusi Budaya: PR Bangsa Pasca Penjajahan
Bung Karno pernah berkata, *revolusi politik tanpa revolusi budaya hanyalah separuh kemerdekaan.*
Dan benar saja, jika melihat kebiasaan, struktur sosial, hingga gaya hidup masyarakat urban sekarang — banyak yang masih berakar dari sistem kolonial VOC.
Mulai dari segregasi sosial di kota besar, kebiasaan membakar sampah, hingga cara kita memandang kekuasaan dan kelas sosial.
Semua itu menunjukkan bahwa penjajahan paling kuat adalah yang sudah kita warisi tanpa sadar.
Jakarta Modern Masih Menyimpan Jejak VOC
Batavia mungkin sudah berganti nama menjadi Jakarta, tapi roh VOC masih tertanam di setiap gang sempit dan kebiasaan warganya.
Dari tata kota, bahasa, sampai budaya bakar sampah, semuanya merupakan hasil ciptaan kolonial yang belum sepenuhnya kita ubah.
Mungkin inilah yang dimaksud :
“Kalau kita belum bisa berpikir kritis, berarti kita masih dijajah — hanya saja sekarang tanpa bendera Belanda.”

Comments
Post a Comment