Antara Sosialisme Global, Kritik yang Redup, dan Hilangnya Penyeimbang Demokrasi Indonesia

Sulit dipercaya bahwa sosok yang dulu dikenal dengan ketajaman lidah dan argumentasi logisnya kini tampak kehilangan bara kritiknya. RG yang dulu menjadi simbol oposisi intelektual, kini terlihat begitu santun, bahkan hangat, terhadap pemerintahan.

Ketika Kritikus Hebat Menjadi Terlalu Lembut pada Kekuasaan

Apakah ini bentuk kedewasaan politik, atau justru tanda hilangnya fungsi penyeimbang dalam demokrasi Indonesia modern?

Makan Siang Bersama Sosialis dan Akademisi: Awal dari Perubahan Arah

Tanggal 7 April 2025 menjadi momen menarik dalam perjalanan opini publik Indonesia. Dalam sebuah jamuan makan siang sederhana ala tradisional—lodeh, tempe, ayam goreng—RG duduk bersama sejumlah tokoh nasional.

Di tengah suasana santai itu, dengan terbuka menyampaikan kekagumannya terhadap visi sosialisme global, sebuah visi yang ia kenal.

Mungkin dari titik itulah, arah pandang seorang intelektual yang dulu keras pada kekuasaan mulai melunak.

Kritik yang Redup dan Hilangnya Daya Gigit

Publik tentu masih ingat bagaimana dulu berdiri di garis depan melawan kebijakan yang dianggap menyeleweng. Ia tidak menyerang pribadi presiden, melainkan mengkritik kekuasaan sebagai konsep—karena kekuasaan yang absolut, baginya, selalu berpotensi menyimpang.

Namun kini, kritik itu seakan berhenti di tepi.

Bahkan yang kini memegang 80% dukungan di DPR, justru tidak mendapatkan kritik seimbang yang seharusnya menjadi napas demokrasi. Padahal, di masa lalu, ketika pendahulunya hanya memiliki 37% dukungan parlemen, tanpa ragu menempatkan dirinya sebagai penyeimbang.

Paradoks yang mencolok: kekuasaan lebih besar, namun kritik justru lebih kecil.

Antara Kekaguman dan Keberpihakan Politik

Kekaguman pribadi memang manusiawi. Namun batas antara kekaguman dan keberpihakan dalam dunia kritik amatlah tipis.

RG dulu berulang kali mengatakan bahwa kritik bukanlah bentuk kebencian. Kritik, katanya, adalah cinta yang menuntut perbaikan. Tapi cinta yang tanpa jarak bisa berubah menjadi pembenaran.

Kini, publik melihat kritik hanya diarahkan ke lingkar luar kekuasaan, sementara inti kekuasaan itu sendiri nyaris tak tersentuh.

Apakah ini bentuk kompromi? Atau barangkali, refleksi kelelahan setelah bertahun-tahun menjadi “musuh” kekuasaan?

Nasionalisme, Rasionalitas, dan Kematian Oposisi Intelektual

Sebuah bangsa hidup karena ada oposisi yang sehat—bukan karena semua orang setuju. Indonesia membutuhkan sosok-sosok penyeimbang, bukan hanya di parlemen, tapi juga dalam ruang opini publik.

Dan dulu, RG adalah simbol dari itu.

Namun kini, menyebut bahwa telah kalah dalam perdebatan paling penting: melawan dirinya sendiri di masa lalu.

RG yang dulu menantang kekuasaan kini berhadapan dengan RG yang menjaga kekuasaan. Dan dalam perdebatan batin itu, publik menyaksikan kematian seorang penyeimbang politik.

Hilangnya Figur yang Membuka Nalar Publik

Tidak ada yang menyangkal bahwa RG tetap cerdas, tetap tajam dalam satir, dan tetap memesona dalam logika. Tapi satirnya kini lebih lembut, seperti pedang yang disarungkan.

Dalam refleksinya menyebut:

“Kita masih akan menikmati celoteh dan logika brilian RG, tetapi bukan lagi untuk dijadikan kompas moral atau intelektual dalam menentukan keberpihakan.”

RG kini menjadi sosok yang “imut terhadap kekuasaan”, kata —sebuah ironi bagi seorang pemikir yang dulu dikenal berani menelanjangi kesalahan penguasa.

Dari Sosialis Global Menuju Pengamat Jinak

Jika dulu ia memimpikan PS sebagai pemimpin sosialisme global Asia, kini publik melihat hubungan itu berubah menjadi keheningan intelektual di hadapan kekuasaan.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik layar—apakah ada bujukan, tekanan, atau sekadar kelelahan ideologis. Namun satu hal pasti: kita kehilangan seorang penyeimbang yang dulu membuat ruang publik Indonesia hidup.

Antara Rasa Hormat dan Rasa Kehilangan

“Saya tetap menghormati dan belajar dari beliau, tapi RG yang dulu kita kenal—yang berani, tajam, dan liar dalam berpikir—sudah mati.”

Kini yang tersisa hanyalah nostalgia atas intelektual publik yang pernah membangkitkan nalar bangsa.

Dan mungkin, di titik ini, kritik paling tajam terhadap RG bukan datang dari lawan-lawan politiknya—tetapi dari dirinya sendiri, yang pernah ia bentuk dengan argumen yang tak terbantahkan.

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia