Tata Kelola Negara Buruk dan Krisis Kepercayaan Rakyat terhadap Pejabat Publik
Fenomena terbaru di Indonesia memperlihatkan bahwa arah kemarahan rakyat kini berubah. Jika dulu yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis, agama, atau pihak asing, sekarang yang menjadi target justru pejabat publik: anggota DPR, pemerintah, hingga aparat penegak hukum. Hal ini menandakan adanya pergeseran kesadaran politik rakyat Indonesia di era digital.
Ironi Indonesia Kaya Raya tapi Rakyat Miskin
Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, tenaga kerja berlimpah, serta wilayah yang luas. Namun kenyataannya, jutaan rakyat masih hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara kaya raya, tetapi rakyat miskin?
Jawaban paling logis adalah tata kelola negara yang buruk. Kekayaan alam tidak dikelola dengan baik, administrasi negara diserahkan kepada orang yang tidak kompeten, dan pejabat publik lebih sibuk mempertahankan privilese daripada mengutamakan kesejahteraan masyarakat.
Media Sosial sebagai Senjata Rakyat
Dulu, rakyat kesulitan mengawasi pejabat. Kini, dengan media sosial, data dan informasi terbuka lebar. Aset, gaya hidup, hingga perilaku pejabat bisa disorot publik dalam hitungan detik. Rakyat pun lebih mudah menandai siapa saja yang flexing, arogan, atau menghambur-hamburkan uang negara.
Fenomena ini menjadikan pejabat publik tidak lagi aman bersembunyi di balik tembok birokrasi. Era transparansi digital membuat rakyat lebih kritis dan berani menuntut pertanggungjawaban.
Privilege Politik dan Krisis Kompetensi
Kritik tajam muncul ketika pejabat menduduki jabatan tinggi bukan karena kompetensi, melainkan karena faktor keturunan, koneksi, atau jalur partai. Situasi ini melahirkan pejabat yang kurang kapabel, tidak memahami substansi masalah rakyat, bahkan kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat.
Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah mereka benar-benar layak memimpin negara sebesar Indonesia? Jika jawabannya tidak, wajar bila rakyat merasa frustrasi.
Pola Lama: Rakyat Sengsara, Pejabat Sejahtera
Kasus BUMN merugi triliunan tetapi gaji komisaris justru dinaikkan adalah contoh nyata anomali pengelolaan negara. Begitu pula DPR yang seharusnya menjadi penyambung suara rakyat, tetapi justru teralienasi dengan fasilitas mewah yang dibiayai pajak masyarakat.
Kondisi seperti ini menciptakan jurang kepercayaan yang makin lebar. Rakyat merasa jadi korban, sementara pejabat menikmati hasil pengelolaan yang gagal.
Peringatan Keras dari Rakyat
Realitas di lapangan menunjukkan, saat terjadi kerusuhan, sasaran rakyat bukan lagi sesama warga, tetapi pejabat publik dan aset mereka. Rumah, mobil, perusahaan, hingga simbol kekuasaan bisa menjadi target pelampiasan kemarahan.
Hal ini bukan ancaman kosong, melainkan sinyal kuat bahwa rakyat tidak lagi bisa ditipu dengan retorika. Ketidakadilan dalam tata kelola negara telah memicu gelombang frustrasi yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Jalan Keluar: Tahu Diri dan Amanah
Pesan paling penting adalah sederhana: pejabat publik harus tahu diri. Jika merasa tidak kompeten, sebaiknya mundur dengan terhormat dan memberikan kesempatan kepada orang yang ahli di bidangnya.
Indonesia terlalu besar untuk dikelola dengan asal-asalan. Diperlukan pejabat yang amanah, berintegritas, dan berkompetensi. Jika tidak, rakyat akan terus menuntut, mengawasi, bahkan memberikan perlawanan dalam bentuk yang lebih keras.
Harapan untuk Indonesia
Rakyat tidak ingin keributan tanpa henti. Rakyat hanya ingin keadilan, kesejahteraan, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur jika kekayaannya dikelola dengan jujur dan profesional. Oleh sebab itu, momentum ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pejabat publik untuk benar-benar bekerja sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang foya-foya dengan uang pajak masyarakat.
Comments
Post a Comment