Psikologi Pejabat Indonesia: Mengapa Sulit Merakyat Meski Sadar Akan Pentingnya Simpati Publik

 

Ironisnya, di tengah kerusuhan dan ledakan ujaran kebencian pada pejabat publik Indonesia, ada segelintir tokoh yang justru mendapat simpati. Nama Kang Dedi Mulyadi dan Sri Sultan Hamengkubuwono X misalnya, muncul sebagai sosok yang hadir di lapangan, berbaur dengan demonstran, bahkan ikut memakai pasta gigi untuk mengurangi pedih gas air mata. Ketulusan seperti ini membuat masyarakat melihat bahwa pemimpin yang merakyat tidak hanya mungkin, tapi juga nyata.

Budaya Feodalisme: Faktor Unik di Indonesia

Namun berbeda dengan negara-negara maju seperti Jepang atau Skandinavia, masyarakat Indonesia masih sangat feodal. Rakyat terbiasa menempatkan pejabat di atas dirinya, memberi perlakuan berlebih, bahkan rela menormalisasi kesenjangan. Akibatnya, pejabat ikut terjebak dalam perasaan eksklusif: merasa lebih tinggi, lebih layak dihormati, dan sulit menurunkan standar hidup. Feodalisme inilah yang membuat merakyat itu sulit dilakukan pejabat di Indonesia.

Ketika Kekuasaan Menyingkirkan Ketergantungan

Menurut penelitian Paul Piff yang dimuat dalam jurnal PNAS, semakin kaya seseorang, semakin kecil pula ketergantungannya pada orang lain. Bagi rakyat jelata, keramahan dan solidaritas adalah strategi bertahan hidup. Tetapi bagi orang berkuasa, orang lainlah yang bergantung padanya. Situasi ini membentuk mentalitas eksklusif—seolah tidak perlu ramah, tidak perlu berbagi, karena dunia bisa berjalan sesuai keinginannya.

Standar Hidup Tinggi dan Isolasi Sosial

Alasan lain sulitnya pejabat merakyat adalah kebiasaan hidup dalam kemudahan. Semua fasilitas tersedia, dari makanan hingga layanan pribadi. Maka ketika harus berinteraksi dengan kehidupan rakyat biasa—penuh kritik, gosip, dan keterbatasan—mereka memilih mundur. Alih-alih berbaur, banyak pejabat mengunci diri dalam lingkungan elit, hanya bergaul dengan sesama orang kaya, membangun bubble sosial yang makin tebal.

Mengapa Berpura-Pura Merakyat Pun Sulit?

Kegagalan beberapa tokoh politik dalam “berperan” sebagai sosok sederhana menjadi bukti bahwa akting tidak cukup. Saat mencoba makan di warung atau menyapa pedagang kecil, bahasa tubuh mereka tetap memperlihatkan jarak. Padahal, komunikasi politik yang efektif bukan sekadar pencitraan, melainkan keterlibatan emosional. Itulah mengapa rakyat mudah menangkap perbedaan antara yang benar-benar tulus dan yang sekadar pencitraan.

Keadilan, Hukum, dan Arogansi Kekuasaan

Piff juga menyinggung bahwa orang kaya dan berkuasa cenderung menganggap dirinya berada di atas hukum. Hukum hanya dibutuhkan oleh pihak lemah yang kalah dalam persaingan. Maka tak heran, sebagian pejabat arogan ketika melanggar aturan lalu lintas, menggunakan patwal, atau memperlihatkan sikap otoriter. Rasa “lebih besar daripada hukum” ini memperkuat jarak antara mereka dengan rakyat.

Pemimpin Merakyat: Fenomena Langka tapi Nyata

Meski begitu, ada juga yang mampu melawan arus. Jokowi di masa awal kepemimpinan, Kang Dedi Mulyadi dengan gaya khasnya, atau Sri Sultan yang sederhana dalam keseharian. Mereka menunjukkan bahwa politik merakyat bukan utopia, melainkan sikap mental yang ditempa dari pengalaman dan kesadaran bahwa kekuasaan sejatinya adalah amanah.

Pada akhirnya, merakyat bukan sekadar strategi politik, tetapi persoalan psikologi dan budaya. Kaya raya dan berkuasa memang membuat manusia sulit bergantung, sulit tunduk pada norma, bahkan sulit bersikap sederhana. Namun rakyat Indonesia masih mendambakan sosok pemimpin yang membumi, yang hadir tanpa sekat, yang bisa bercanda sekaligus marah sebagai “orang biasa”. Justru di tengah feodalisme, pejabat merakyat menjadi oase yang menumbuhkan harapan.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Jawab Pertanyaan “Ceritain Tentang Diri Kamu” di Interview Call Center Indonesia

Tips Simulasi Mock Call Center Indonesia

Tips Interview Call Center Indonesia Jawab Kenapa Kami Harus Merekrut Kamu?