Makna Kehidupan Antara Hidup dan Bahagia Menurut Albert Camus

Bayangkan seseorang yang hidupnya hanyalah deretan penderitaan. Ia lapar, ditolak, dibenci, dan bahkan sadar bahwa keberadaannya tidak diinginkan. Ia tidak mencintai dirinya sendiri, dan dunia pun tampak tak peduli.

Pertanyaan pun muncul: Apakah seseorang yang tidak pernah bahagia masih layak untuk terus hidup?

Pertanyaan seperti ini bukan sekadar keluhan emosional, melainkan inti dari filsafat absurd yang pernah digagas oleh Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus (1942). Di situ, Camus dengan tegas menyebut: pertanyaan paling mendasar dari filsafat adalah apakah hidup ini layak dijalani?

Absurditas yang Tak Terhindarkan: Hidup Tanpa Jawaban, Tapi Tetap Dijalani

Camus menyebut hidup manusia itu absurd. Mengapa?

Karena manusia terus bertanya “untuk apa aku hidup?”, sementara alam semesta sama sekali tidak menjawab.

Manusia tidak tahu mengapa ia hidup, tidak tahu apa yang terjadi setelah mati, namun tetap saja hidup.

 Ironinya, dari ketidaktahuan itu lahirlah moral, agama, dan hukum yang mengatur segalanya — bahkan sampai menentukan boleh atau tidaknya seseorang mengakhiri hidupnya sendiri.

Spekulasi Mistik dan Etika yang Berdiri di Atas Ketidaktahuan

Manusia tak tahu tujuan hidup, tapi tetap menciptakan narasi transenden:

“Manusia hidup untuk beribadah kepada Tuhan.”

“Atau untuk menebus karma masa lalu.”

“Atau untuk menyucikan jiwa.”

Namun tidak ada satu pun yang dapat membuktikan kebenarannya.

Semua agama dan sistem kepercayaan seolah saling menyangkal — masing-masing yakin bahwa versinya yang paling benar.

Akhirnya, moral universal yang mengatur boleh tidaknya manusia bertindak, termasuk larangan bunuh diri, justru berdiri di atas ketidaktahuan kolektif.

Ironi Moralitas: Ketika Larangan dan Kebaikan Lahir dari Absurditas

Larangan untuk mengakhiri hidup sering dianggap suci. Tapi mari berpikir sejenak:

Bukankah semua itu didasarkan pada keyakinan bahwa hidup adalah “anugerah”?

Bagaimana jika bagi seseorang, hidup justru adalah “kutukan”?

Seseorang yang menderita seumur hidup mungkin justru melihat kematian sebagai pembebasan, bukan pelarian.

Namun moral dan agama memaksanya untuk terus hidup, dengan janji bahwa di surga nanti semuanya akan terbalas.

Sayangnya, janji itu tidak pernah terbukti secara empiris.

Penderitaan Seumur Hidup: Saat Bahagia Tak Pernah Hadir

Contoh nyata seorang penyandang cerebral palsy yang sadar sepenuhnya bahwa tubuhnya tidak normal, gerakannya terbatas, dan hidupnya takkan pernah sama dengan orang lain.

Ia diejek, dibully, bahkan kehilangan semua orang yang mencintainya.

Setiap hari ia bertanya, “Mengapa aku harus tetap hidup kalau semua ini tidak akan berubah?”

Apakah ia berdosa bila berpikir bahwa kematian bisa menjadi akhir dari penderitaannya?

Atau justru dunia yang berdosa karena memaksanya bertahan tanpa memberi makna?

Ketika Hidup Manusia Mengorbankan Hidup Lain

Ada paradoks lain yang dikemukakan: setiap kehidupan manusia selalu datang dengan harga — pengorbanan makhluk lain.

Untuk makan, manusia harus membunuh hewan.

Untuk membangun rumah, manusia merampas lahan makhluk lain.

Bahkan untuk menjadi kaya, manusia kerap mengambil jatah orang lain.

Jadi, setiap napas kehidupan yang kita pertahankan sesungguhnya mempersempit ruang hidup bagi yang lain.

Apakah itu masih bisa disebut anugerah?

Plato, Populasi, dan Ketimpangan

Bahkan Plato pernah menulis dalam Republic, bahwa kota ideal hanya berisi 5.040 orang.

Lebih dari itu, katanya, akan muncul ketimpangan dan keserakahan.

Kita bisa lihat buktinya hari ini:

Ada orang yang memiliki belasan rumah hanya untuk investasi, sementara jutaan keluarga tak punya tempat tinggal.

Ada yang mengoleksi mobil mewah, sementara di sisi lain ada yang tidak sanggup membeli sepeda motor.

Semakin banyak seseorang memiliki, semakin banyak pula jatah orang lain yang ia ambil.

Hukuman Mati, Kebahagiaan, dan Paradoks Keadilan

Ironisnya, manusia menjadikan kematian sebagai hukuman paling berat.

Padahal, tidak ada yang tahu apakah kematian itu penderitaan atau pembebasan.

Bukankah lebih berat bila seseorang dipaksa hidup tanpa kebahagiaan, kehilangan semua yang ia cintai, dan terus terjebak dalam siklus penderitaan?

Mungkin, dalam konteks filsafat absurd, hukuman mati justru bukanlah hukuman — melainkan akhir dari absurditas itu sendiri.

Filsafat Kebahagiaan: Hidup atau Bahagia, Mana yang Lebih Bernilai?

Pertanyaan kembali bergema:

Apakah kebahagiaan lebih penting dari kehidupan itu sendiri?

Jika hidup hanya menjadi sumber penderitaan, apakah bertahan berarti bijak?

Atau justru keberanian sejati adalah menerima bahwa hidup kadang tidak perlu dipaksakan?

Namun di sisi lain, Camus menulis bahwa manusia seharusnya memberontak terhadap absurditas.

Bukan dengan bunuh diri, tapi dengan tetap hidup meski tahu bahwa hidup itu tak punya makna pasti.

Hidup dalam Absurditas: Ketika Tidak Ada Jawaban Pun Menjadi Jawaban

Camus menggambarkan manusia seperti Sisyphus, yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali.

Pekerjaan tanpa akhir, tanpa makna, tapi tetap dilakukan.

Mungkin itulah esensi hidup: menerima absurditas tanpa harus memahaminya.

Dan dalam menerima ketidakpastian itu, manusia menemukan kebebasan sejati.

Bertahan, Bukan Karena Tahu, Tapi Karena Sadar

Kehidupan bukan selalu tentang kemenangan, kebahagiaan, atau makna yang besar.

Kadang, ia hanya tentang keberanian untuk tetap ada meski tidak tahu untuk apa.

Menutup perenungannya dengan tenang — bukan memberi jawaban, tapi mengajak berpikir.

Karena mungkin, di titik tertentu, bertahan hidup bukan karena bahagia, tapi karena sadar bahwa bahkan absurditas pun layak dijalani.

“Kita tidak tahu. Tapi mungkin justru di sanalah makna kehidupan tersembunyi — dalam ketidaktahuan yang terus kita jalani.”

Comments

Popular posts from this blog

Cara Jawab Pertanyaan “Ceritain Tentang Diri Kamu” di Interview Call Center Indonesia

Tips Simulasi Mock Call Center Indonesia

Tips Interview Call Center Indonesia Jawab Kenapa Kami Harus Merekrut Kamu?