Kritik Program Makan Bergizi Gratis: Antara Efisiensi Anggaran dan Masalah Stunting

 

Data resmi pemerintah menunjukkan angka stunting di Indonesia sekitar 19–20%, sedangkan tingkat kemiskinan hanya 9%. Artinya, ada 10–11% anak stunting yang berasal dari keluarga mampu. Fenomena ini membuktikan bahwa stunting tidak selalu disebabkan kemiskinan, melainkan lebih pada edukasi pola makan yang keliru. 

Stunting Tidak Selalu Soal Kemiskinan

Ada kasus anak kaya yang justru diberi makanan instan, permen, hingga minuman tinggi gula. Bahkan muncul istilah “stunting obesitas” yang kontradiktif: pendek karena kurang gizi, tapi tubuhnya gemuk.

Biaya Rp71 Triliun: Efektif atau Boros?

Sejak awal, kritik utama diarahkan pada anggaran makan bergizi gratis Rp71 triliun. Sebagian besar, yaitu 91% penerima manfaat, justru berasal dari kelompok masyarakat mampu. Padahal, beban pajak, pemotongan honorarium, hingga pengurangan anggaran daerah dipakai untuk membiayai program ini. Kondisi ekonomi yang sedang menanggung utang besar membuat pemborosan anggaran terasa tidak bijak.

Birokrasi Kacau dan Kasus Keracunan

Pelaksanaan program makan bergizi gratis terbukti belum siap. Dengan wilayah Indonesia seluas 7 juta km² dan jumlah penduduk 280 juta jiwa, pengawasan seharusnya matang sebelum dijalankan. Faktanya, muncul banyak kasus keracunan massal di sekolah, hingga cerita soal makanan bercampur bahan non-halal. Semua pihak—dari sekolah hingga penyedia jasa—saling lempar tanggung jawab. Situasi ini menunjukkan lemahnya SOP, minimnya pengawasan, dan distribusi tenaga ahli gizi yang tidak merata.

Anggaran Pendidikan yang Terpotong Besar

Polemik makin mencuat ketika Menteri Keuangan menyebut pada 2026, alokasi makan bergizi gratis bisa mencapai Rp335 triliun. Mirisnya, 70% diambil dari anggaran pendidikan. Dampaknya jelas: guru honorer tetap digaji rendah, fasilitas belajar terbatas, dan sekolah kekurangan dana operasional. Alih-alih memperkuat kualitas pendidikan, program ini justru menambah beban tenaga pendidik yang kini dipaksa terlibat dalam urusan distribusi makanan.

Rp10.000 Per Anak: Realistis atau Ilusi?

Pertanyaan besar muncul: apakah Rp10.000 cukup untuk menyediakan makanan sehat dan seimbang? Di daerah perkotaan Jawa, mungkin masih bisa sekadar nasi dan lauk sederhana. Namun di Papua, Maluku, atau Kalimantan, ongkos logistik membuat nilai itu tidak realistis. Harga sayuran, daging, bahkan bahan pokok berbeda jauh. Perbandingan sederhana: sekali makan anggota DPR bisa mencapai Rp117.000, sedangkan anak sekolah hanya dialokasikan Rp10.000.

Alternatif: Edukasi Pola Makan Sehat

Daripada menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk makan bergizi gratis yang rawan manipulasi dan salah sasaran, solusi lain bisa lebih efisien. Edukasi gizi melalui influencer kesehatan, kampanye pola hidup sehat, serta pelibatan tokoh masyarakat jauh lebih efektif. Langkah ini lebih murah, berkelanjutan, dan bisa menjangkau generasi muda yang aktif di media sosial.

Kritik terhadap program makan bergizi gratis bukan berarti menolak upaya mengatasi masalah gizi. Namun implementasi yang terburu-buru, anggaran yang membengkak, serta pengawasan yang lemah membuat program ini lebih berpotensi gagal. Jika tujuan utamanya adalah menekan stunting, maka pendekatan edukasi gizi jauh lebih penting dibanding sekadar memberi makan gratis dengan anggaran raksasa.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Jawab Pertanyaan “Ceritain Tentang Diri Kamu” di Interview Call Center Indonesia

Tips Simulasi Mock Call Center Indonesia

Tips Interview Call Center Indonesia Jawab Kenapa Kami Harus Merekrut Kamu?