Konflik Kekuatan Danantara, Kementerian Keuangan, dan Sosok Purbaya yang Bisa Digulingkan
Sulit dipercaya, tetapi begitulah pola sejarah yang sering berulang. Tokoh yang dicintai rakyat bisa saja jatuh di tangan rakyat sendiri. Menyinggung kemungkinan besar bahwa pada tahun 2026, antara bulan Juni hingga September, sosok Purbaya—yang kini dielu-elukan sebagai Menteri Keuangan yang berani melawan mafia—akan digulingkan dalam badai demonstrasi besar di ibu kota.
Skenario ini, katanya, bukan sekadar ramalan kosong. Ada logika kekuasaan dan konflik kepentingan besar di belakang layar yang bisa menjelaskan semuanya.
Konflik yang Disengaja untuk Menjaga Keseimbangan Kekuasaan
Jauh sebelum nama Purbaya mencuat, Presiden Prabowo sudah membangun panggung politik yang penuh perhitungan. Beliau sangat paham cara menjaga keseimbangan: bukan dengan memadamkan konflik, tetapi dengan memeliharanya. Di lingkar dalamnya saja, ada perseteruan yang sengaja dibiarkan hidup—seperti antara Dasco dan Syafri Syamsuddin—dua tokoh militer yang berbeda pandangan, tapi sama-sama diberi posisi strategis agar saling bergantung pada Prabowo.
Begitulah politik modern versi Indonesia: harmoni bukan karena tiadanya konflik, tapi karena konflik itu dikendalikan dengan cermat.
Danantara vs Kementerian Keuangan
Kisah memanas ketika ide pembentukan Danantara muncul—sebuah lembaga super yang menghimpun seluruh aset BUMN. Ratusan perusahaan, ribuan triliun rupiah aset, dan—yang paling menakutkan—ratusan jaringan koruptor di dalamnya.
Prabowo, sadar potensi ancamannya, tidak membubarkan Danantara. Sebaliknya, ia menciptakan “penyeimbang alami”: Kementerian Keuangan.
Di sinilah sosok Purbaya masuk. Ia menggantikan Sri Mulyani, dan langsung menabuh genderang perang terhadap mafia migas dan jaringan korupsi di BUMN. Pernyataannya yang blak-blakan soal kilang Pertamina yang sengaja dibakar demi impor migas besar-besaran membuat publik terperangah.
Namun, di balik keberaniannya, ada risiko besar.
Antara Mafia dan Birokrat
Ada pandangan yang mengejutkan: bahwa pemerintah modern tidak bisa sepenuhnya hidup tanpa “mafia.”
Mereka dianggap lebih cepat bekerja dibanding birokrat yang kaku dan lamban. Maka muncullah simbiosis aneh—mafia yang menggerakkan ekonomi bayangan dan birokrat yang mengontrol aliran pajak. Keduanya sama-sama dibutuhkan, namun juga sama-sama berbahaya.
Di titik inilah Purbaya berdiri. Ia mewakili birokrasi bersih yang berusaha menertibkan kekuatan gelap ekonomi, tapi justru berhadapan dengan tembok besar oligarki dan jaringan yang jauh lebih dalam.
Buzzer Kemenkeu vs Propaganda Mafia
Konflik besar itu ternyata tidak hanya terjadi di ruang rapat dan gedung kementerian, tapi juga di jagat digital.
Buzzer Kementerian Keuangan dikenal sebagai yang paling kuat di antara semua lembaga pemerintahan. Mereka mengendalikan opini publik, menetralkan isu, bahkan menenggelamkan berita negatif di mesin pencari.
Contohnya kasus sistem pajak digital Coretax yang dulu ramai dikritik. Walau masyarakat kecewa, hasil pencarian di internet tetap menunjukkan citra netral—indikasi kuat bahwa opini publik memang bisa dikendalikan.
Kini, kekuatan buzzer itu dibenturkan langsung dengan media bayangan milik jaringan mafia BUMN. Dua kubu saling menggoreng isu, menciptakan perang opini yang nyaris tak terdeteksi.
Ketika Rakyat Menjadi Alat Oligarki
Titik ledakan terbesar akan datang ketika utang negara jatuh tempo pada pertengahan 2026. Nilainya diperkirakan mencapai 800 triliun rupiah. Bila efisiensi anggaran dilakukan secara besar-besaran, masyarakat akan langsung merasakan dampaknya—dari pemotongan dana pendidikan hingga pengurangan subsidi daerah.
Gejolak sosial pun tak terelakkan.
Di saat itu, jaringan mafia mungkin kembali memainkan kartu lamanya: membiayai demonstrasi besar, mengarahkan kemarahan rakyat ke Kementerian Keuangan, dan menjadikan Purbaya kambing hitam dari krisis yang ia coba cegah.
Menang atau Tumbang
Ada dua kemungkinan besar.
Pertama, jika Purbaya berhasil menundukkan jaringan mafia migas, ekonomi Indonesia bisa melonjak hingga 6–7% per tahun, seperti prediksi awalnya.
Namun, jika mafia yang menang, maka kejatuhan sang menteri tinggal menunggu waktu. Ia bisa digulingkan bukan oleh kekuatan politik, tapi oleh rakyat yang dimanipulasi—rakyat yang tidak sadar sedang digerakkan oleh tangan-tangan oligarki.
Politik Sebagai Seni Menjaga Keseimbangan
Kisah ini bukan sekadar drama kekuasaan. Ini adalah refleksi tentang bagaimana negara modern dijalankan melalui keseimbangan rumit antara ideologi, ekonomi, dan bayangan.
Kadang yang terlihat sebagai kebenaran hanyalah hasil dari pertarungan opini, dan yang tampak sebagai pahlawan bisa sewaktu-waktu menjadi korban dari sistem yang sama.
Tahun 2026 belum datang, tapi naskahnya tampaknya sudah ditulis: pertarungan antara idealisme dan oligarki akan terus berlanjut—dengan rakyat sebagai panggung utamanya.
Comments
Post a Comment