Krisis Dunia Islam di Tengah Agresi Israel: Analisis Konflik, Perpecahan Umat, dan Jalan Menuju Kebangkitan
Agresi Israel Terhadap Negara-Negara Timur Tengah
Rangkaian serangan tersebut bukan hanya dimaknai sebagai aksi militer semata, melainkan juga simbol supremasi bahwa mesin tempur mereka masih solid. Dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa, Israel tampil luar biasa percaya diri ketika menghadapi potensi ancaman dari dua miliar kaum muslimin di dunia.
Ironisnya, agresi yang melukai marwah dan martabat umat Islam ini disambut dengan respon lunak. Mayoritas negara muslim hanya berhenti pada kutukan seremonial, bahkan sebagian justru memasok gas dan minyak untuk mesin perang Israel. Situasi ini dengan gamblang memperlihatkan jurang ketidakseimbangan kekuatan politik, ekonomi, dan teknologi antara Israel dan dunia Islam.
Mengapa Israel Tidak Takut pada Dunia Islam?
Jika ditarik ke akar masalah, jawaban dari para tokoh Israel justru sederhana namun menohok:
1. Umat muslim dianggap tidak paham—lemah dari sisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan diplomasi.
2. Meski ada yang menguasai ilmu, mereka cepat pecah dan sibuk berperang di antara sesama muslim.
Pernyataan tersebut sejatinya bukan sekadar provokasi, melainkan fakta yang membuka wajah buram dunia Islam modern.
Perdebatan internal umat kerap berkisar pada hal-hal remeh—mulai dari hukum menyentuh istri pasca-wudhu, apakah anime boleh digambar, sampai aurat wajah wanita—sementara realitas korupsi, eksploitasi tambang liar, hingga pelecehan seksual di dunia pendidikan sering diabaikan.
Dengan kondisi semacam ini, tidak mengherankan jika Israel tampil percaya diri. Mereka yakin bahwa setiap upaya serangan akan diamini oleh sebagian negara Arab lain yang justru menjadi sekutu diam-diam.
Persoalan Pendidikan: Inti Kelemahan Peradaban Muslim
Daripada menyalahkan Israel semata, lebih penting menelisik kondisi internal umat. Salah satu faktor dominan adalah pola pendidikan di dunia Islam yang tidak mendorong daya pikir kritis dan penguasaan sains modern.
Bayangkan, di banyak pesantren atau lembaga pendidikan agama tertentu masih disuarakan narasi:
- Belajar matematika tidak berguna di akhirat.
- Ilmu kimia dianggap tidak memberi syafaat.
- Ekonomi dipandang sebagai urusan duniawi semata.
Narasi-narasi semacam ini perlahan membunuh etos ilmiah. Para santri dengan potensi cemerlang justru dididik hanya untuk taat membabi buta, mencium kaki guru, dan dilarang membantah, meskipun memiliki ide segar.
Akibatnya, sementara Israel fokus membangun teknologi, menguasai media, dan mengembangkan diplomasi global, umat Islam justru sibuk memperdebatkan tafsir masa lalu. Ketika generasi Israel mengotak-atik kecerdasan buatan, umat muslim masih terjebak pada dikotomi "ilmu akhirat" versus "ilmu duniawi".
Perpecahan Internal Dunia Islam: Antara Firqah dan Perebutan Kekuasaan
Tidak berhenti pada soal pendidikan, perpecahan internal juga menjadi penyebab lemahnya kekuatan muslim. Pertikaian doktrinal antara NU, Wahabi, Muhammadiyah, hingga Hizbut Tahrir justru lebih sengit dibanding menghadapi musuh eksternal.
Lucunya, yang diperdebatkan sering kali bukan isu struktural (korupsi, supremasi hukum, pembangunan ekonomi), melainkan perkara filosofis yang tidak pernah tamat, seperti:
- Apakah Allah memiliki wajah dan tangan.
- Boleh atau tidaknya menyemen kuburan.
- Status hukum musik dan gitar.
Selama energi umat habis pada konflik internal kecil seperti ini, Israel dan sekutunya bisa bergerak santai menyerang, karena mereka tahu, kaum muslimin terlalu sibuk berperang di antara diri sendiri.
Strategi Israel: Kecil Tapi Menggigit
Penduduk Israel tidak lebih dari 10 juta jiwa, sementara jumlah umat Islam mencapai lebih dari 2 miliar. Tetapi, kualitas mengalahkan kuantitas. Israel unggul pada lima sektor vital:
1. Teknologi persenjataan canggih.
2. Penguasaan IT dan cybersecurity.
3. PropagKamu media internasional.
4. Kekuatan diplomasi global.
5. Dukungan ekonomi stabil termasuk dari sekutu Arab.
Dengan keunggulan ini, Israel mampu menyeimbangkan kekuatan melawan banyak negara besar di Timur Tengah. Bahkan lebih dari itu, mereka mampu "mengendalikan" sebagian kebijakan negara muslim agar tidak berani frontal.
Jalan Kebangkitan: Jihad Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
Solusi bagi dunia Islam sebenarnya jelas: jihad ilmu. Perlawanan bukan sekadar dengan senjata, tetapi melalui strategi pembangunan peradaban yang kokoh:
- Revolusi pendidikan: mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu sains, teknologi, ekonomi, dan filsafat.
- Kolaborasi diplomasi: membangun persatuan internasional yang tidak mudah dipecah oleh intrik politik.
- Kemandirian ekonomi: mengelola sumber daya alam untuk umat, bukan untuk suplai lawan.
- Kebangkitan budaya kritis: mendorong generasi muda berpikir logis, kreatif, dan inovatif.
Israel yakin umat Islam tidak berdaya karena tidak memahami peta geopolitik dan sains modern. Maka keterpahaman itulah yang seharusnya menjadi senjata utama.
Dari Kelemahan Menuju Kebangkitan
Agresi Israel terhadap Qatar dan negara-negara muslim lain adalah cermin betapa dunia Islam kini dianggap "buih di lautan". Kuantitas besar tidak berguna tanpa kualitas. Umat Islam terjebak dalam kutukan, perpecahan, dan kejumudan berpikir.
Namun, semua ini bukan kutukan abadi. Kebangkitan itu mungkin dimulai dari langkah sederhana: reformasi pendidikan, membangun riset teknologi, menguasai ekonomi, serta merajut persatuan sejati.
Selama umat masih sibuk mempersoalkan hal sepele dan mengabaikan ilmu, Israel akan tetap menggenggam kendali. Tetapi saat dunia Islam berani melakukan jihad dalam ilmu pengetahuan, barulah umat bisa berdiri sejajar, bahkan melampaui.
Krisis ini sesungguhnya panggilan sejarah. Saat Israel merayakan keunggulannya lewat rudal dan diplomasi, dunia Islam seharusnya mempersiapkan generasi dengan senjata matematika, algoritma, sains, dan media kritis. Sebab pertempuran abad 21 bukan hanya di medan perang, melainkan juga di ruang kelas, laboratorium, lembaga riset, dan ruang digital.
Comments
Post a Comment