Eksploitasi Karakter Rakyat Indonesia dan Ancaman Politik Nasional oleh PKI

Sejarah bangsa Indonesia pasca-kemerdekaan penuh dengan pergulatan ideologi. Salah satunya adalah pemberontakan PKI 1948 di Madiun, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin serta Muso.

Dari Pemberontakan 1948 ke Politik Pemilu 1955

Awalnya lahir dari kekecewaan politik, karena jabatan Perdana Menteri Amir dicabut setelah ia menandatangani Perjanjian Renville yang dianggap merugikan bangsa: wilayah republik menyempit, BelKamu semakin kuat, dan kedaulatan nasional dirugikan.  

Namun, bayangkan di titik kritis revolusi ketika Indonesia berjuang melawan agresi Belanda, PKI justru memberontak. Tidak heran jika rakyat serta TNI menumpas habis gerakan itu dan sejak saat itu PKI menjadi “musuh bersama”.  

Anehnya, tujuh tahun berselang, partai yang dulu dicaci justru berubah menjadi salah satu pemenang Pemilu 1955 dengan meraih suara lebih dari 15%, sejajar dengan PNI, Masyumi, dan NU. Bagaimana partai yang dibenci bisa jadi favorit?

Empat Karakter Rakyat Indonesia yang Dieksploitasi PKI

Kebangkitan PKI tidak jatuh dari langit. Ada strategi politik PKI yang rapi dalam membaca karakter bangsa Indonesia. Menurut catatan, ada empat sifat utama masyarakat yang dimanfaatkan dengan cerdik:  

1. Mudah Lupa (Pikun Struktural)

Orang Indonesia cenderung cepat melupakan luka sejarah. Tragedi 1948 dikemas ulang oleh PKI sebagai masa lalu, lalu mereka menampilkan wajah baru lewat Aidit, Nyoto, Lukman—tokoh muda usia 30-an. PKI menegaskan bahwa mereka kini bergerak lewat jalur konstitusional, bukan pemberontakan.  

Contoh nyatanya: rakyat yang tahu partai penuh koruptor masih saja memilihnya di pemilu berikutnya. Ingatan politik rendah adalah amunisi emas bagi perancang propaganda.  

2. Mental Miskin dan Simpati untuk Wong Cilik

Sejak awal 1950-an, jargon PKI selalu menyuarakan “partai rakyat kecil”. Mereka memanfaatkan mental miskin masyarakat Indonesia: suka mengaku tertindas, tidak berdaya, dan selalu merasa korban.  

PKI memainkan peran dengan slogan anti-tuan tanah, hingga membuat program mendistribusikan tanah melalui Barisan Tani Indonesia (BTI). Narasi ini membuat rakyat percaya bahwa kemiskinan mereka berasal dari “setan desa”: birokrat, feodalis, tuan tanah, dan kapitalis.  

3. Emosional dan Mudah Diadu Domba

Strategi klasik PKI: adu domba antar-kelompok sosial. Misalnya antara santri pesantren pemilik tanah vs rakyat miskin. Begitu tanah kiai dirampas dan dibagi-bagikan, konflik horizontal otomatis pecah. PKI tidak usah kotor tangan: cukup framing bahwa mereka berpihak pada wong cilik.

Kondisi rakyat yang impulsif dimanfaatkan dengan baik, sehingga konflik sosial meroket dan rasa benci tersalurkan bukan ke PKI, melainkan ke “musuh bersama” yang dituduhkan.  

4. Ikut Arus Kelompok Besar (Fear of Minority)

Masyarakat Indonesia sering kali takut melawan arus mayoritas. PKI memanfaatkannya lewat underbow organisasi:  

- BTI (Barisan Tani Indonesia) untuk petani,  

- SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) untuk buruh,  

- Gerwani untuk kaum perempuan,  

- Lekra untuk seniman,  

- Pemuda Rakyat untuk kalangan muda.  

Dengan membuat organisasi massa raksasa di tiap bidang, orang yang tidak ikut lantas terkucil. Budaya ikut arus menjadikan pergerakan PKI terlihat dominan.  

Dari Simpati Palsu Menuju Strategi Propaganda

Narasi perubahan wajah PKI dari pemberontak menjadi pembawa aspirasi rakyat hanyalah rekayasa komunikasi politik. Mereka tahu betul bagaimana mengubah kemarahan rakyat menjadi modal.  

Caranya sederhana:  

- Mengelola kekecewaan → Setiap krisis ekonomi atau sosial diputar sebagai bukti kegagalan pemerintah.  

- Mengibarkan isu kesenjangan → Tuan tanah, pejabat, dan kapitalis di-framing sebagai biang penderitaan.  

- Menggalang massa dalam kelompok besar → Organisasi underbow jadi instrumen mobilisasi.  

- Mereproduksi amnesia kolektif → Menyatakan “PKI sekarang beda” agar rakyat menghapus memori pemberontakan 1948.  

Ironi Politik: Dari Partai Terkutuk ke Dekat dengan Soekarno

Puncaknya, sebelum tragedi 1965, PKI bukan hanya masuk empat besar pemilu tetapi juga sangat dekat dengan Presiden Soekarno. “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis) bahkan dijadikan doktrin penyatuan bangsa.  

Jika tidak ada G30S 1965, besar kemungkinan PKI menjadi partai terbesar di parlemen. Fakta ini menunjukkan efektivitas strategi mereka membelokkan kebencian rakyat menjadi dukungan politik.  

Relevansi Strategi PKI di Era Politik Modern

Meski PKI sudah lama bubar, pola strategi mereka masih hidup dan mirip dengan praktik politik modern:  

- Eksploitasi lupa sejarah → masyarakat memilih elite korup berulang-ulang.  

- Eksploitasi kemiskinan → kampanye populis dengan jargon “rakyat kecil”.  

- Eksploitasi emosional → polarisasi identitas setiap pemilu, rakyat diadu.  

- Eksploitasi arus mayoritas → membentuk kelompok viral/influencer agar orang takut berbeda pendapat.  

Sejarah memang tidak berulang persis, tetapi sering berirama sama.  

Waspada terhadap Siklus Eksploitasi Politik

Kisah PKI adalah pelajaran sejarah monumental: dari pemberontakan Madiun 1948 hingga kejayaan politik 1955-1965, semua dibangun lewat permainan psikologis terhadap karakter rakyat Indonesia.  

Jika bangsa masih mudah lupa, mengaku miskin, emosional, dan ikut arus mayoritas, maka strategi semacam ini akan terus berulang dengan wajah berbeda. Tugas masyarakat hari ini adalah naik kelas dalam kesadaran politik, tidak hanya mengingat sejarah tetapi juga belajar darinya.  

Bangsa yang lupa sejarah ibarat orang pikun struktural: mudah sekali dipermainkan. Dan PKI pernah membuktikan betapa mematikan kelemahan itu jika dieksploitasi dengan cerdik.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Jawab Pertanyaan “Ceritain Tentang Diri Kamu” di Interview Call Center Indonesia

Tips Simulasi Mock Call Center Indonesia

Tips Interview Call Center Indonesia Jawab Kenapa Kami Harus Merekrut Kamu?