Apakah Perlu Bubarkan DPR ?
Dewan Perwakilan Rakyat sesungguhnya dirancang sebagai pilar demokrasi. Secara konstitusi, keberadaannya adalah wajah dari perwakilan rakyat.
DPR untuk Rakyat atau Ketua Partai?
Namun, dalam praktik, posisi DPR justru lebih kental diwarnai oleh dominasi ketua partai politik. Keputusan politik penting, mulai dari legislasi hingga alokasi jabatan, hampir selalu tunduk pada kepentingan partai ketimbang aspirasi rakyat. Akibatnya, DPR kerap berubah menjadi sekadar stempel legalitas bagi agenda elit politik.
DPR Alat Kepentingan Partai Politik
Fenomena yang sering terjadi adalah rakyat "dipaksa" memilih calon legislatif yang sejatinya tidak mereka kenal. Nama-nama caleg berasal dari daftar yang disodorkan partai. Rakyat hanya sekadar mencoblos, tanpa pernah benar-benar tahu integritas ataupun kiprah calon yang dipilih. Inilah mengapa muncul narasi kuat bahwa DPR lebih mewakili suara ketua partai daripada suara rakyat.
Ketika anggota DPR dipuji atau dicopot, faktor utamanya bukan kehendak publik, melainkan restu elite. Dengan kata lain, rakyat diperlakukan sebagai “bahan bakar” politik, bukan pemilik kedaulatan.
Representasi Rakyat Hilang, Pengusaha Mendominasi
Secara teori, anggota DPR seharusnya hadir dari berbagai latar belakang sosial ekonomi masyarakat Indonesia, mulai dari buruh, petani, hingga pekerja sektor informal. Namun data menunjukkan sekitar 61% anggota DPR berasal dari latar belakang pengusaha besar, sementara representasi buruh, petani, dan pekerja informal hampir tidak ada.
Ironisnya, profesi yang jumlahnya dominan di Indonesia justru absen di parlemen. Akibatnya, regulasi yang dihasilkan kerap berpihak pada kepentingan modal besar, bukan pada kebutuhan mayoritas rakyat kecil.
RUU Cepat untuk Oligarki, Lamban untuk Kepentingan Publik
Ketika menyangkut kebijakan yang menguntungkan elit ekonomi, DPR bisa bekerja super cepat. Contohnya RUU Minerba yang disahkan hanya dalam 28 hari. RUU IKN pun hanya butuh 43 hari berubah jadi undang-undang. Sebaliknya, RUU yang sangat diinginkan rakyat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU Masyarakat Adat bisa mandek puluhan tahun tanpa kejelasan.
Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa DPR justru menjalankan agenda oligarki. Rakyat hanya dijadikan kedok demokrasi, sementara kebijakan diarahkan untuk kepentingan ekonomi segelintir pengusaha.
Mekanisme Politik: Harapan Palsu dan Polarisasi Identitas
Cara partai politik untuk merebut suara rakyat tidak jarang dilakukan melalui politik imajinasi palsu. Rakyat dijanjikan berbagai program gratis yang tidak realistis, padahal kondisi keuangan negara tidak mampu menopangnya. Pemimpin jujur yang menyerukan kerja keras dan peningkatan produktivitas sering kalah dari kandidat yang menjanjikan "serba gratis".
Selain itu, perbedaan identitas seperti agama, etnis, dan daerah juga dimanfaatkan sebagai senjata kampanye. Polarisasi tersebut menciptakan konflik horizontal di masyarakat, sementara para elit politik di belakang layar saling bernegosiasi dan bertransaksi.
Suara Netizen vs Fungsi DPR
Di era media sosial, fungsi pengawasan rakyat terhadap pejabat publik telah berevolusi. Netizen bisa langsung melaporkan kebijakan yang salah, bahkan menyoroti ketidakseriusan anggota DPR yang sedang berwisata saat sidang. Dengan adanya teknologi digital dan artificial intelligence (AI), pertanyaan besar pun muncul: Apakah DPR masih relevan?
Beberapa contoh sudah membuktikan bahwa keterlibatan aktif masyarakat di dunia maya mampu lebih cepat mengungkap penyimpangan dibanding mekanisme legislasi tradisional.
Wacana Pembubaran DPR: Ancaman atau Harapan?
Membubarkan DPR memang jelas bertentangan secara konstitusi. Namun, secara etika publik, wacana ini menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap lembaga yang dianggap tidak lagi mewakili rakyat. Gagasan ini tidak serta-merta dimaknai sebagai seruan anarkis, melainkan dorongan untuk reformasi parlemen agar kembali ke akar: representasi rakyat, bukan representasi partai.
Reformasi Struktur Partai dan DPR
Jika Indonesia ingin menjaga demokrasi sekaligus menyelamatkan legitimasi politik, solusinya bukan sekadar membubarkan DPR, tetapi mereformasi total mekanisme partai politik. Calon legislatif seharusnya dipilih berdasarkan kualitas dan keterhubungan dengan masyarakat, bukan karena restu ketua partai atau kekuatan modal. DPR harus transparan, membuka sidang-sidang, serta menjadikan rakyat sebagai arah kebijakan, bukan hanya objek kampanye.
Siapa Sesungguhnya yang Diwakili DPR?
Pertanyaan paling mendasar adalah ini: apakah DPR masih representasi rakyat Indonesia, atau sekadar perpanjangan tangan partai? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka legitimasi demokrasi kita sedang dalam bahaya besar.
Selama aspirasi rakyat tidak hadir di parlemen, wacana pembubaran DPR akan terus menggema, menjadi simbol kekecewaan masyarakat. Namun, bila reformasi dijalankan serius, DPR bisa kembali menjadi lembaga terhormat—bukan sekadar panggung politik bagi elit bermodal.
Dengan begitu, artikel ini menempatkan DPR dalam sorotan kritis, dengan segala paradoksnya: secara konstitusi wajib ada, tapi secara etika publik layak dievaluasi ulang.
Comments
Post a Comment