Cerita Wawancara Kerja Call Center Indonesia dari Skill HRM
Gak semua orang yang berhenti kuliah itu kehilangan arah. Ada juga yang justru punya tujuan lebih jelas, ambisius, dan siap kerja keras.
Dari semua kandidat yang masuk, tipe seperti ini tuh yang bisa jadi aset perusahaan. Bukan cuma butuh kerjaan, tapi punya alasan kuat kenapa pekerjaan ini penting buat masa depannya.
Dari Hias Kue ke Angkat Telpon: Perjalanan Tak Terduga
Kalau ada yang bilang belajar HRM (Hotel & Restaurant Management) cuma soal masak dan beberes, kayaknya belum pernah lihat bikin kue empat tingkat. Waktu dia cerita soal kue itu, jelas banget cara dia kerja tuh bukan asal-asalan—dari cari bahan di tiga tempat beda sampai 18 jam nonstop kerja tim.
Dan itu juga alasan dia bilang, “Saya memperlakukan pekerjaan seperti seni. Gak ada drama, yang penting gerak.”
Bukan cuma bisa senyum ke pelanggan restoran, tapi juga:
- Komunikasi efektif, karena tiap tamu butuh dilayani dengan cara beda.
- Multitasking, apalagi saat dapur dan meja penuh saat jam sibuk.
Bahkan dia udah punya taktik: kasih pelanggan ruang buat marah dulu, baru diajak ngobrol logis.
Call Center Bukan Pilihan Kedua: Ini Strategi Hidup
“Banyak orang mikir kerja di call center itu jalan pintas. Tapi buat saya, ini jalan alternatif yang penuh peluang,” saat ditanya kenapa gak balik ke kuliah dulu. Dia sadar, bantu orang tua itu prioritas. Tapi dia juga pengen belajar langsung di dunia kerja, dan industri BPO punya potensi besar.
Target dia: kerja minimal 3 tahun, kumpulin pengalaman, baru pertimbangkan kuliah lagi. Tapi gak menutup kemungkinan dia justru naik level di dunia BPO.
Pertanyaan Unik = Jawaban yang Bikin Ternganga
Waktu ditanya, “Kalau kamu hewan, kamu apa?” Jawaban? Lebah pekerja.
Karena lebah punya peran penting, multitasking, dan jadi fondasi sistem. Tanpa mereka, ratu lebah dan koloni gak akan bertahan. Jawaban ini bukan cuma cerdas, tapi nunjukin cara dia melihat dirinya: bukan tokoh utama, tapi penggerak utama.
Lalu, waktu ditanya soal mimpi kalau uang bukan masalah? Dia jawab: beri pendidikan gratis untuk semua. Menurutnya, uang bisa habis, tapi pengetahuan bisa diwariskan dan mengubah hidup.
Gaji, Harapan, dan Komitmen
Dia minta gaji sesuai standar entry-level di BPO. Tapi yang bikin HR tersenyum bukan angka itu—melainkan saat dia bilang, “Saya tinggal 10 menit dari kantor, jadi kerja full di office? Gak masalah.”
Komitmen real dan gak neko-neko.
Fakta Menarik yang Gak Ada di CV
Ternyata dia udah nulis jurnal sejak kelas 6 SD. Sekarang dia punya 16 buku berisi pikiran, refleksi, dan tujuan hidup. Jurnal itu bukan cuma dokumentasi, tapi jadi kompas hidupnya. Gak heran dia tampil dewasa dan punya kesadaran diri tinggi di usia muda.
Kelemahan yang Jujur Tapi Bisa Diatasi
Dia ngaku kalau informasi overload bisa bikin panik pas pertama kali angkat telpon. Tapi dia juga percaya, itu cuma fase awal. “Begitu terbiasa, saya yakin bisa atasi.”
Satu-satunya hal yang dia gak suka? Kekacauan. Buatnya, struktur dan rencana itu fondasi kerja yang bikin dia bisa tampil maksimal. Tapi dia juga tahu, kadang kreativitas muncul dari kekacauan. Fleksibel dan realistis.
Akhir Wawancara, Tapi Awal Peluang
Saat sesi berakhir, Dia nyapa dengan tenang, “Terima kasih atas waktunya.” Dan keluar ruangan dengan yakin. Bagi sebagian orang, wawancara cuma formalitas. Tapi bagi dia, ini adalah momen untuk menunjukkan siapa dia dan apa yang bisa dia bawa ke tim.
Dari HRM ke BPO Bukan Mundur, Tapi Belok Cerdas
Artikel ini bukan sekadar cerita tentang dia. Ini cermin buat siapa aja yang merasa jalan hidupnya gak linear. Kadang, pilihan paling masuk akal justru datang dari keberanian buat melenceng sedikit dari rencana awal.
Dan kalau kamu lagi nyiapin diri untuk kerja di call center, atau baru aja berhenti kuliah dan bingung harus gimana… mungkin cerita ini bisa jadi inspirasi bahwa jalan ke depan gak selalu harus lurus—yang penting tetap melangkah dengan alasan yang kuat.
Comments
Post a Comment