Study Case Call Center Indonesia : Pelanggan Komplain di Perusahaan Voucher Diskon
Namanya juga dunia customer service, kadang nggak cuma dituntut sabar, tapi juga harus tahan mental. Kayak pengalaman seorang agen CS dari perusahaan voucher diskon, yang harus meladeni pelanggan super emosional bernama Septi. Ceritanya sih “cuma” soal voucher diskon, tapi percakapannya bisa bikin siapa pun geleng-geleng kepala.
Emosi Meledak di Awal Panggilan
Begitu telpon nyambung, Septi langsung meledak. Nada bicaranya tinggi, kata-katanya kasar. Dia curiga perusahaan ini bakal bangkrut karena menurutnya layanan yang dia terima parah banget. Masalah utamanya adalah: dia dapat voucher diskon yang katanya nggak bisa dipakai, padahal dia udah dijanjikan voucher pengganti lewat email.
Agen tetap tenang. Dia jawab dengan sopan dan minta Septi menjelaskan masalahnya lebih rinci. Di tahap awal kayak gini, penting banget buat ngasih ruang pelanggan mengeluarkan unek-uneknya dulu.
“Kesalahan” yang Sebenarnya Udah Terpakai
Setelah Septi cerita panjang lebar soal kecewanya dia karena harus nunggu dua minggu tanpa kabar dan flash sale-nya udah lewat, Agen mulai periksa data. Ternyata voucher yang katanya nggak bisa dipakai, udah terpakai sehari sebelumnya buat beli juicer. Jadi logikanya, sistem nolak kode tersebut karena memang udah digunakan.
Tapi Septi ngotot. Dia merasa nggak pernah pakai kode itu dan yakin bayar harga penuh. Agen kasih penjelasan pelan-pelan, lengkap dengan bukti dari sistem. Tapi pelanggan tetap nggak terima.
Saat Suara Emosi Mulai Menjadi Serangan Pribadi
Di titik ini, situasinya makin panas. Septi mulai menyerang Agen secara pribadi. Mulai dari hinaan sampai ancaman bakal bikin dia dipecat. Nah, di sinilah batasnya. Agen dengan sopan tapi tegas langsung pasang batas: kalau omongannya terus kasar, panggilan bakal diputus.
Ini langkah penting dalam penanganan pelanggan yang mulai melewati batas. Nggak perlu ikutan emosi, tapi harus tetap jaga martabat diri sendiri sebagai agen.
Fakta Mengejutkan dari Riwayat Septi
Pas Agen minta izin buat tanya ke supervisor apakah voucher pengganti bisa diberikan, supervisor malah nemuin fakta menarik. Ternyata ini bukan pertama kalinya Septi mengklaim hal serupa. Sudah sembilan kali dia nelpon dengan kasus mirip: bilang vouchernya gagal, minta ganti, padahal semuanya sudah digunakan. Dan anehnya, sebelumnya semua permintaannya dikabulkan.
Jadi kali ini, perusahaan memutuskan buat nggak ngasih voucher tambahan.
Reaksi Pelanggan Saat Permintaannya Ditolak
Saat dikasih tahu keputusan akhir, Septi makin marah. Dia mulai ngancam akan nuntut perusahaan, nyumpahin Agen bakal dipecat, bahkan nyebut perusahaan itu penipu. Tapi Agen tetap tenang dan profesional. Dia ulangi penjelasan dengan sabar dan tegaskan keputusan final tersebut.
Dan pas serangan pribadi makin menjadi-jadi, Agen akhirnya memutuskan buat mengakhiri panggilan. Ini udah sesuai prosedur karena pelanggan udah dianggap melakukan verbal abuse secara berulang.
Inti Masalah: Kesalahan dari Agen Sebelumnya
Kalau ditelusuri, sebenarnya awal dari semua kekacauan ini karena agen sebelumnya, janji bakal kasih voucher pengganti tanpa cek dulu status voucher yang lama. Kalau dia lebih teliti, nggak akan ada janji palsu, dan Agen juga nggak perlu jadi tameng kemarahan pelanggan yang merasa kecewa.
Pelajaran dari Kasus Ini
- Jangan janji ke pelanggan kalau belum pastikan faktanya.
- Dengarkan pelanggan di awal, jangan langsung potong atau menilai.
- Tetap profesional meskipun pelanggan mulai kasar.
- Tahu batas kapan harus bersikap tegas.
Kadang, jadi agen CS itu nggak cuma soal menjawab pertanyaan atau bantuin transaksi. Tapi juga soal menghadapi emosi manusia yang lagi kecewa—dan tetap bersikap manusiawi dalam situasi yang nggak enak.
Kalau kamu lagi belajar jadi CS atau pengin ngerti dunia layanan pelanggan, drama ini bisa jadi contoh real banget gimana menghadapi pelanggan yang nggak cuma rewel, tapi juga “berpengalaman” dalam memanfaatkan celah. Jadi, siapin mental dan tetap waras, ya!
Comments
Post a Comment