Simbol Tersembunyi dan Propaganda Film “Merah Putih One for All”
Kadang, yang disebut “film animasi nasionalis” bisa berubah jadi bahan bakar konspirasi paling liar di internet.
Tanggal 9 Agustus 2025, sebuah trailer animasi berjudul “Merah Putih One for All” rilis dan langsung diserbu kritik. Mulai dari selebriti, kreator YouTube, sampai komentator politik — semua berlomba-lomba menyebut film ini sebagai aib animasi Indonesia.
Grafisnya buruk, suaranya kacau, karakternya absurd — begitu katanya.
Namun, datang dengan cara pandang yang tidak disangka siapa pun. Ia justru menyebut film ini bukan gagal secara teknis, melainkan sangat berhasil secara ideologis.
Karena menurutnya, ini bukan film biasa. Ini film propaganda komunis terselubung.
Simbol-Simbol dalam Trailer Film Animasi Indonesia
Di detik pertama saja, bendera merah putih yang seharusnya tegak lurus justru miring ke kiri.
Bagi sebagian orang, itu sekadar visual artistik. Tapi bagi , itu “kemiringan ideologis” — miring ke kiri berarti cenderung ke komunisme, sementara miring ke kanan berarti liberalisme.
Setelah diselidik pakai busur derajat, ternyata kemiringannya 75 derajat.
Dan angka 75, katanya, mewakili masa kejayaan PKI tahun 1975.
Cocokologi? Mungkin. Tapi di dunia teori konspirasi, “kebetulan” jarang berdiri sendiri.
Angka-Angka Gila yang Katanya Menyimpan Kode Rahasia PKI
Judul “Merah Putih One for All” jika dihitung jumlah hurufnya — “Merah Putih” punya 10, “One for All” punya 9. Totalnya 19.
Dan angka 19 adalah bilangan prima ke-8, sementara anak-anak di trailer itu berjumlah delapan orang.
Delapan anak, lima laki-laki, tiga perempuan — totalnya 53, dan 53 pun bilangan prima.
Dari situ dihitung lagi: 1975 - 16 = 1959, yaitu tahun kebangkitan ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) di masa Soekarno.
Begitu cara “menganyam simbol.” Antara angka, warna, dan jumlah karakter — semuanya disatukan untuk membentuk alur narasi tersembunyi.
Desa Komunis, Anak Afro, dan Simbol Letkol Untung
Salah satu hal paling unik dalam analisis adalah penafsiran tentang karakter anak berkulit gelap.
Banyak penonton mengira ia orang Papua. Tapi menurut orang, bukan. Wajahnya justru lebih mirip Afro, dan itu bukan tanpa alasan.
Ia menyebut bahwa anak itu mewakili Letkol Untung, tokoh penting dalam Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Karakter berbaju merah itu kemudian ditunjukkan berkelahi dengan anak berbaju hijau, simbol pertentangan antara komunis dan NU— dua kekuatan ideologis yang pernah saling bertabrakan dalam sejarah Indonesia.
Analisis Semiologi Desa Fiktif dalam Film Merah Putih One for All
Lalu ada adegan yang menampilkan desa dengan penduduk heterogen — ada yang Chinese, ada yang hitam, ada yang seperti bugimen.
Secara geografi sosial, ini aneh. Karena desa di Indonesia biasanya homogen.
Namun dalam analisisnya, desa heterogen adalah ciri khas komunisme internasional, di mana kesetaraan diciptakan dari perbedaan yang dipaksa setara.
Jadi, desa dalam film ini bukan sekadar latar tempat, melainkan representasi desa komunisme global, basis gerakan proletar yang mempersatukan petani (palu) dan buruh (arit).
Pak Lurah dan Simbol Syam Kamaruzaman: Agen Ganda dalam Cerita
Masih dalam adegan desa, muncul sosok Pak Lurah yang ternyata mirip Syam Kamaruzaman — tokoh nyata, agen ganda PKI yang terlibat dalam G30S.
Dalam narasi “konspiratif” ini, Pak Lurah-lah yang memberi perintah kepada anak-anak, termasuk si “Letkol Untung cilik”, untuk melakukan “misi merah putih” yang ternyata misi ideologis, bukan patriotik.
Kalimat “Satu tim untuk merdeka” diartikan sebagai kode lokasi: Jalan Merdeka Selatan, tempat PKI pernah menyiarkan pengumuman kudeta lewat RRI.
Bagi penggemar teori simbol, ini tentu menarik sekaligus menyeramkan.
Adegan Hutan, Ular, dan Burung: Konspirasi Alam dalam Film Animasi
Kemudian trailer menampilkan hutan pegunungan yang justru kebanjiran — hal yang mustahil secara logika geografi. Orang menafsirkan ini sebagai tanda kegagalan pemberontakan komunis yang “terhalang arus besar tentara.”
Dan benar saja, muncul adegan ular yang katanya mewakili satuan militer yang membungkam gerakan PKI.
Sementara itu, burung merah yang dilepaskan anak-anak merepresentasikan ideologi komunis yang ingin bebas kembali, namun suaranya justru “suara monyet” — lambang kemunafikan dan oportunisme PKI.
Dari Film Animasi ke Teori Konspirasi: Antara Hiburan dan Eksperimen Pikiran
Ia ingin menunjukkan bagaimana teori konspirasi dibangun dari simbol, cocokologi, angka, dan asosiasi bebas — semua dirangkai menjadi cerita yang *tampak logis* tapi sebenarnya tidak berdasar.
Namun di balik itu, ada pujian terselubung untuk film “Merah Putih One for All.”
Walaupun anggarannya hanya enam miliar dan eksekusinya kasar, film ini berhasil menghidupkan diskusi nasional.
Mulai dari soal kualitas animasi, simbolisme politik, hingga kebangkitan film animasi Indonesia.
Film Buruk yang Justru Jenius
Ironisnya, film yang dicaci sebagai “terburuk dalam sejarah animasi Indonesia” justru membuka ruang berpikir paling liar.
Ia memancing diskusi tentang nasionalisme, ideologi, dan sejarah dalam cara yang belum pernah dilakukan animasi lokal sebelumnya.
Bukan soal benar atau salah. Ini tentang bagaimana kita belajar membaca tanda-tanda dan tidak gampang termakan teori konspirasi.
Di situlah letak kejeniusan film ini — bukan pada grafisnya, tapi pada kemampuannya menyulut percakapan tentang bangsa dan ideologi di tengah banjir hiburan kosong. Indonesia butuh orang-orang kreatif seperti ini — yang berani bikin ribut demi membuka mata.

Comments
Post a Comment