Krisis Laki-Laki Indonesia dan Fenomena Fatherless

 

Ada satu fakta pahit yang disampaikan  dengan nada keras tapi jujur — Indonesia kini berada dalam jajaran negara dengan kualitas laki-laki paling rendah di dunia.

Tidak hanya soal penghasilan atau ketegasan, tapi soal rasa tanggung jawab dan keberanian untuk menjadi pemimpin sejati dalam keluarga.

Bukan tanpa alasan, fenomena ini dikaitkan dengan istilah yang cukup tajam: “fatherless country” — negara yang secara fisik penuh laki-laki, tapi secara emosional dan moral kekurangan sosok ayah.

Ironisnya, di balik label “imam rumah tangga”, justru banyak yang gagal menghidupi dan melindungi keluarga.

Antara Rumah Tangga Tradisional dan Modern: Dua Dunia yang Sering Disalahpahami

Ada dua tipe besar rumah tangga di dunia: pernikahan modern dan pernikahan tradisional.

Dalam rumah tangga modern, laki-laki dan perempuan berdiri sejajar — keduanya bekerja, mengurus anak, dan berbagi tanggung jawab ekonomi maupun domestik.

Sebaliknya, rumah tangga tradisional menempatkan suami sebagai pemimpin penuh kuasa.

Ia yang menentukan arah hidup keluarga, mencari nafkah di ruang publik, sementara istri bertugas di ruang domestik — mengurus anak, rumah, dan kesejahteraan sehari-hari.

Masalahnya muncul ketika banyak laki-laki Indonesia ingin status tradisional, tapi gaya hidupnya setengah-setengah.

Ingin dihormati seperti pemimpin, tapi urusan tanggung jawab malah ingin dibagi dua.

Mereka ingin istri tunduk, tapi tak siap menanggung konsekuensi ekonomi dan moral sebagai kepala keluarga.

70% Perempuan Bekerja Karena Suami Tak Mampu Menafkahi

Fakta yang disampaikan  mengguncang logika:

“Walau 99% rumah tangga di Indonesia menempatkan suami sebagai pemimpin, 70% perempuan tetap bekerja.”

Dan sebagian besar dari mereka tidak bekerja karena ambisi, tapi karena terpaksa.

Ketika suami gagal menafkahi keluarga, istri harus turun tangan.

Ia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, mengurus anak, lalu tetap keluar mencari uang.

Beban ganda itu membuat banyak perempuan kelelahan secara fisik dan mental.

Mereka kehilangan waktu untuk diri sendiri, penampilan, bahkan keintiman rumah tangga.

Dan ketika semua itu hancur, siapa yang disalahkan? Tetap perempuan.

Padahal akar masalahnya jelas — laki-laki yang gagal menunaikan perannya sebagai penopang utama keluarga.

Ketika Anak Kehilangan Figur Laki-Laki Sejati

Ketiadaan figur ayah yang bertanggung jawab melahirkan efek domino panjang: anak-anak tumbuh tanpa arah dan kasih sayang.

Banyak ibu terlalu sibuk bekerja, terlalu lelah untuk menemani anak, karena seluruh tanggung jawab finansial dan emosional ditanggung sendirian.

Akibatnya?

Generasi yang rapuh secara mental, mudah stres, dan kehilangan nilai keteladanan.

Inilah dampak sosial keluarga tanpa ayah di Indonesia yang kini mulai terlihat di berbagai lapisan masyarakat.

“Kalau bangsa ini bobrok, akar masalahnya bukan di politik atau ekonomi dulu, tapi di ruang tamu keluarga.”*

Karena ayah-ayah gagal mendidik, gagal mengasihi, dan gagal melindungi.

Dari Nongkrong Sampai Lari dari Tanggung Jawab

Fenomena paling menyedihkan dari krisis ini adalah munculnya laki-laki yang kehilangan arah maskulinitas.

Bukan karena mereka tidak kuat, tapi karena mereka menolak untuk dewasa.

Masih banyak suami yang menghabiskan waktu nongkrong, main catur, mancing, atau sekadar melarikan diri dari rumah dengan alasan “butuh me time”.

Sementara istrinya menanggung dua peran: menjadi pekerja dan ibu rumah tangga.

Ketimpangan ini menciptakan siklus yang berulang — perempuan lelah, anak-anak terlantar, rumah tangga hancur, dan akhirnya kualitas sumber daya manusia merosot.

Perempuan Dituduh Matre, Padahal Hanya Realistis

Salah satu bagian paling tajam dari membongkar persepsi masyarakat terhadap perempuan.

Ketika seorang wanita berkata bahwa ia ingin suaminya bergaji 10 juta per bulan, komentar langsung bermunculan: “Matre!”

Padahal, kata , itu bukan kemewahan, tapi perhitungan realistis.

Karena jika perempuan harus berhenti bekerja demi keluarga, maka wajar ia berharap suaminya mampu menanggung kebutuhan bersama.

Bukan berarti mencari kekayaan, tapi mencari kepastian hidup yang layak.

Pacaran Setengah Serius, Suami Setengah Tanggung Jawab

Kalau ada cowok yang ditanya kapan nikah dan jawabnya ‘jalani aja dulu’, tandai. Itu tanda laki-laki tak berkualitas.

Sikap menunda-nunda tanggung jawab, berani di hal-hal fisik tapi pengecut dalam komitmen, adalah gejala maskulinitas semu.

Dan dari laki-laki semacam inilah muncul keluarga yang rapuh — penuh konflik, tanpa fondasi tanggung jawab sejati.

Jadi Pemimpin Itu Bukan Soal Otoritas, Tapi Pengorbanan

“Kalau tidak sanggup menafkahi, tidak sanggup melindungi, jangan menikah dulu. Tapi kalau tetap ingin menikah, perbaiki diri sampai pantas memimpin.”

Pesan ini bukan untuk mempermalukan laki-laki, tapi untuk membangkitkan kesadaran bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga itu bukan hadiah, tapi tanggung jawab.

Karena kalau laki-laki berani berubah, istri akan bahagia.

Jika istri bahagia, anak-anak tumbuh sehat lahir batin.

Dan dari keluarga yang sehat, lahirlah generasi yang kuat.

Akhirnya, krisis tanggung jawab laki-laki di Indonesia bukan sekadar isu sosial, tapi juga persoalan moral dan mentalitas nasional.

Jika ingin membangun bangsa yang beradab, maka langkah pertama bukan di parlemen atau gedung pemerintahan — tapi di hati seorang ayah yang berani menunaikan perannya dengan penuh cinta dan tanggung jawab.

Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia

Cara Bikin Pelanggan Hotel Ngerasa Diperhatiin ala Call Center Indonesia