Fenomena Tawuran Antar Perguruan Silat Indonesia di Luar Negeri
Dari luar, Taiwan dikenal sebagai salah satu negara paling aman di Asia. Tingkat kriminalitas rendah, kehidupan publik teratur, dan warganya sangat menjunjung stabilitas sosial. Maka saat sembilan tawuran antar perguruan silat Indonesia pecah dalam satu tahun, kontrasnya seperti titik hitam di kain putih.
- Hingga dua orang meninggal dunia.
- Dan reputasi diaspora Indonesia ikut tercoreng.
Namun fenomena ini ternyata hanya puncak dari masalah panjang. Di Jawa Timur saja, tahun yang sama terjadi sekitar 500 kasus tawuran yang melibatkan berbagai perguruan silat besar. Sebuah angka yang jika dibiarkan, akan menjadi warisan buruk bagi generasi berikutnya.
Budaya Menolak Kritik: Akar Masalah yang Lebih Dalam
Bangsa ini sering kali alergi terhadap kritik. Akar persoalannya tidak sederhana:
1. Ego kolektif yang tinggi
Ada anggapan bahwa kelompok atau identitas tertentu harus selalu suci, agung, bahkan sakral. Sehingga fakta pahit dianggap serangan, bukan peringatan.
2. Tidak siap dengan konsekuensi perbaikan
Kritik menuntut effort. Sementara budaya rebahan, budaya mencari jalan cepat, membuat sebagian orang memilih menyangkal daripada berjuang.
3. Keengganan introspeksi
Kesalahan dianggap “oknum”. Masalah disapu di bawah karpet. Dan pola buruk berulang tanpa solusi.
Padahal kritik — bila diolah dengan kepala dingin — adalah jendela yang membuka ruang perubahan.
Ketika Pesan Kebaikan Justru Mendatangkan Cacian
Saat masyarakat mengkritik fenomena tawuran itu, alih-alih menerima diskusi sehat, justru muncul gelombang kemarahan:
- Tantangan duel
- Olok-olok
- Ancaman
- Serangan personal di media sosial
Bahkan salah satu pesilat berprestasi, ikut marah karena merasa yang disorot hanya sisi negatif.
Padahal kritik tidak sama dengan permusuhan. Kritik adalah kebutuhan.
Keterkaitan Masalah Kritik dengan Dunia Pendidikan, Media, dan Teknologi
Sikap anti-kritik bukan hanya terjadi pada dunia persilatan. Sikap itu juga terlihat dalam:
- Cara masyarakat menanggapi isu Israel–Palestina
- Respons terhadap masalah pendidikan nasional
- Cara tokoh agama menyampaikan narasi tanpa memberi solusi konkret
- Sikap publik kepada media, teknologi, hingga diplomasi internasional
Contoh sederhana: banyak tokoh agama mampu berbicara berjam-jam mengenai penderitaan Gaza, tetapi sedikit sekali yang memberi peta jalan solusi: teknologi, persenjataan, diplomasi, inovasi, dan penguasaan media.
Tanpa solusi, semua hanya menjadi keluhan panjang.
Budaya fanatisme di media sosial Indonesia
Di kolom komentar, ada pola klasik:
- Jika pendapat kreator sesuai dengan pandangan penonton, kreatornya dianggap cerdas.
- Jika tidak sesuai, kreator langsung dicap bodoh, sesat, atau bias.
Nalar publik menjadi tergantung keberpihakan, bukan kebenaran. Inilah yang membuat konten netral dan objektif justru rentan diserang dari dua sisi.
Mengapa Perlu Berani Mengakui Kesalahan?
Karena perbaikan tidak mungkin dimulai dari penyangkalan. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang bersedia mengakui kekurangan diri — bahkan jika pahit.
Fenomena tawuran silat, budaya anti kritik, dan sikap menutup mata terhadap kesalahan adalah gejala dari akar budaya yang lebih besar:
- Ego kolektif
- Ketidakmauan berproses
- Ketidakmampuan menerima fakta
- Takut pada perubahan
Padahal semua itu bisa diperbaiki… jika ada keberanian untuk membuka mata.
Sebuah Ajakan untuk Menurunkan Ego Kolektif
Kritik bukan racun. Kritik adalah vitamin. Kadang pahit, tetapi justru memperkuat tubuh sosial. Bangsa yang kuat bukan bangsa yang sempurna, melainkan bangsa yang berani memperbaiki diri. Semoga semakin banyak yang memahami ini, dan semakin sedikit yang menutup telinga.

Comments
Post a Comment