Fenomena Mental Inferior di Indonesia dan Kekuatan Viral Media Sosial

Lucunya, di negeri ini, berita buruk bisa viral sampai miliaran tayangan, tapi dampaknya? Hampir nihil. Dari isu “Indonesia Gelap” sampai kisah besar “Kasus Timah Rp300 Triliun”, semua sempat heboh di media sosial, tapi ujungnya selalu senyap. 

Ketika Indonesia Viral, Tapi Tak Pernah Berubah

Seolah-olah kehebohan hanya jadi bahan hiburan musiman. Banyak isu yang sengaja dipelihara keviralannya oleh pihak-pihak kuat. Bahkan Kementerian Keuangan tercatat pernah dibicarakan sampai 1,2 miliar kali dalam sebulan — angka yang absurd kalau tidak disertai dampak nyata.

Dari “Pagar Laut” ke “Kasus Sambo”: Pola yang Selalu Berulang

Aneh tapi nyata. Setiap isu besar di Indonesia selalu punya pola sama: viral → ribut → senyap. Ingat kasus Ferdi Sambo? Viral, diadili, ditayangkan live, dihujat berjamaah. 

Tapi setelah vonis turun, semua kembali seperti semula. Bahkan gosip bahwa sebagian terlibat justru naik jabatan, tidak lagi jadi bahan pembicaraan. Sama halnya dengan “pagar laut” dan tambang di Papua yang sempat mengguncang, namun akhirnya redup tanpa perubahan signifikan.

Fenomena ini menunjukkan satu hal: publik cepat terbakar, tapi mudah padam. Ketika isu kehilangan sensasi, perhatian publik pindah ke topik viral berikutnya.

Kekuatan Media Sosial yang Tak Menggerakkan

Media sosial seolah jadi arena adu opini terbesar di Indonesia. Ada 50–80 juta tayangan per bulan hanya untuk isu judi online, sementara isu DPR bisa menyentuh ratusan juta interaksi.

Tapi anehnya, semua riuh-rendah itu tidak menumbuhkan gerakan nyata. Bahkan ketika rakyat marah, tak ada perubahan struktural yang berarti. Kenapa? Karena rakyat tidak bergerak sebagai individu yang sadar akan perannya, tapi hanya sebagai bagian dari gerombolan yang menunggu aba-aba dari “figur”.

Mental Inferior: Sumber Kejumudan Kolektif

Mental inferior. Masyarakat Indonesia sulit bergerak tanpa komando. Mereka hanya berani saat berada dalam kerumunan besar. Tanpa pemimpin yang “diidolakan”, gerakan sosial kehilangan arah.

Contohnya jelas. Reformasi 1998 berhasil karena ada figur seperti Amien Rais. Tahun 1966, Sukarno lengser karena muncul sosok Suharto yang jadi simbol tindakan. Artinya, rakyat tidak pernah berjuang karena kesadaran sendiri, tapi karena dorongan simbolik dari tokoh.

Dari Pasar Caringin Bandung: Miniatur Mental Bangsa

Kasus sederhana di Pasar Caringin Bandung jadi cermin nasional. Ketika pasar itu kotor, para pedagang hanya menunggu pemerintah datang untuk membersihkan. 

Setelah dibersihkan oleh Kang Emil (KDM), sehari kemudian pasar kotor lagi. “Sudah dibersihkan, kok balik lagi?” ujarnya. Karena masyarakat tidak merasa punya tanggung jawab, hanya berharap orang lain yang bekerja.

Itu juga yang terjadi di level nasional. Kita menunggu “orang besar” untuk membereskan semuanya, tapi enggan memulai dari diri sendiri.

Siklus Harapan Palsu pada Pemimpin Baru

Setiap kali pemilu, publik seperti jatuh cinta lagi dan lagi. Saat Jokowi naik, dielu-elukan sebagai “sang penyelamat”. Saat kecewa, berpaling ke tokoh lain. Begitu terus berulang — glorifikasi, fanatisme, lalu penyesalan. Tidak pernah berhenti di introspeksi: “Apakah saya sendiri bisa menjadi solusi?”

Fenomena ini menunjukkan budaya berharap pada figur, bukan membangun kekuatan kolektif berbasis individu yang sadar. Kita kagum, kita dukung, kita sakralkan — sampai akhirnya kecewa dan mencari pengganti baru.

Viral Tanpa Arah: Ketika Kesadaran Kolektif Mandek

Indonesia gagal bikin kerusuhan karena gagal menemukan arah. Maksudnya, ketika isu besar merebak, rakyat tidak punya tokoh atau nilai yang dijadikan pegangan. Tanpa figur sentral, emosi kolektif cepat padam. Kita sibuk berteriak di kolom komentar, tapi jarang berbuat nyata di dunia nyata. Kesadaran digital tidak bertransformasi menjadi tindakan sosial.

Jalan Keluar: Menjadi Pemimpin untuk Diri Sendiri

Pesan paling kuat dari adalah: *berhenti berharap pada pihak lain.*

Jangan tunggu figur baru untuk memimpin. Mulailah dari diri sendiri. Orang kaya tidak menjadikan kita kaya, orang jenius tidak otomatis membuat kita pintar. Semua kembali ke kontrol atas diri sendiri.

“Satu-satunya orang yang bisa membuat diri menjadi berkualitas adalah diri sendiri,” katanya.

Jadilah versi terbaik diri sendiri, bukan penonton dari drama politik yang tak berkesudahan.

Refleksi Akhir: Harapan yang Berawal dari Cermin

Mungkin kita perlu berhenti mencari pahlawan baru dan mulai bercermin. Potensi setiap individu di Indonesia sebenarnya luar biasa — ada yang miskin tapi cerdas, ada yang sederhana tapi jujur, ada yang diam tapi berjiwa besar. Jika semua sadar, “pahlawan nasional” bukan satu orang, tapi jutaan warga biasa yang berani mengambil tanggung jawab.

Dan di situlah titik awal perubahan sejati: ketika keviralan bukan lagi soal trending, tapi kesadaran.

Viralitas media sosial tanpa kesadaran hanya akan menciptakan siklus kehebohan semu. Mental inferior dan ketergantungan pada figur pemimpin membuat bangsa ini sulit maju. Pesan sederhana tapi tajam — berhenti berharap, mulai bertindak. Karena perubahan besar tidak dimulai dari tokoh, tapi dari diri yang berani berpikir dan bertindak untuk bangsa sendiri. 

Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025