Benarkah Kemiskinan di Indonesia Sengaja Dipelihara untuk Kepentingan Politik?

Ada kemungkinan bahwa kemiskinan bukan hanya akibat ekonomi lemah, tetapi hasil rekayasa sistematis yang dipelihara.

Bansos yang mestinya menjadi penyembuh justru berubah jadi alat untuk menjaga rakyat tetap bergantung.

Sebuah teori yang kedengarannya konspiratif, tapi jika melihat jejak kebijakan menjelang pemilu—semuanya tampak sangat masuk akal.

Bansos dan Politik: Dua Kata yang Sulit Dipisahkan

Bayangkan, menjelang Pemilu 2024, empat menteri aktif yang mengurusi ekonomi rakyat bergabung dalam tim kampanye nasional pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Apakah ini kebetulan? tidak. Karena setelahnya, rentetan kebijakan dan pencairan bansos tiba-tiba meledak, berbarengan dengan kampanye yang penuh narasi kesejahteraan rakyat kecil.

Bahkan Presiden kala itu mengeluarkan PP Nomor 53 Tahun 2023, yang memperbolehkan pejabat aktif tetap berkampanye tanpa cuti.

Dan tak lama, bansos kembali digelontorkan besar-besaran — dengan narasi “untuk menjaga harga tetap stabil,” padahal harga-harga saat itu tergolong normal.

Fenomena Mental Kemiskinan: Ketika Rakyat Terlalu Nyaman Jadi Penerima

Di Indonesia, orang kaya malu mengaku kaya, tapi bangga mengaku miskin. Mereka menegaskan diri sebagai “wong cilik”, rakyat kecil yang harus dibela.

Dan dari sinilah muncul fenomena mental miskin, di mana bantuan dianggap sebagai hak, bukan sekadar pertolongan darurat.

Ketika setiap bantuan digembar-gemborkan sebagai “anugerah dari pemerintah,” rakyat pun tanpa sadar menjadi pasif, kehilangan semangat untuk mandiri.

Mereka merasa tidak berdaya tanpa bantuan. Padahal seharusnya, program bantuan sosial bukan untuk meninabobokan, tapi untuk mendorong kemandirian finansial masyarakat miskin.

Data Kacau, Penerima Salah Sasaran

Angka-angka yang diungkap  bikin geleng kepala.

- 23.800 penerima bansos ternyata ASN atau PNS dengan gaji di atas UMR.

- Di Jawa Barat, 140.000 penerima bansos ternyata masyarakat mampu.

- Jawa Tengah mencatat 85.000 kasus, dan Jawa Timur sekitar 30.000 kasus penerima salah sasaran.

Itu baru sebagian. Program Keluarga Harapan (PKH) salah sasaran hingga 45%, Program Indonesia Pintar (PIP) 43%, subsidi LPG 3 kg salah sasaran 60%, BBM 82%, dan subsidi listrik 58,6%.

Bayangkan, dari Rp500 triliun dana bansos nasional, sebagian besar justru tidak sampai ke fakir miskin.

Sebaliknya, uang negara itu kerap “terdampar” di hotel mewah untuk rapat pejabat membahas *bagaimana cara menurunkan angka kemiskinan.*

Teori Konspirasi Bansos

Ada pola yang terulang:

1. Ciptakan kelompok miskin atau buat mereka merasa miskin.

2. Yakinkan bahwa kemiskinan mereka disebabkan oleh penguasa lama atau nasib.

3. Tampilkan diri sebagai penyelamat.

4. Berikan bantuan sosial sebagai bukti kepedulian.

5. Pertahankan ketergantungan agar suara mereka tetap bisa dikendalikan.

Dengan skema ini, kemiskinan bukan lagi musuh politik, melainkan sumber kekuasaan.

Karena selama rakyat masih berharap bansos, selama itu pula mereka akan mudah diarahkan.

Miskin Biar Terlihat Layak Ditolong

Dari Sabang sampai Merauke, slogan politik yang paling sering terdengar adalah “membela rakyat kecil.”

Namun di balik kalimat manis itu, tersimpan narasi yang mengikat rakyat dalam identitas kemiskinan.

Karena untuk dibela, seseorang harus terlebih dahulu mengaku miskin.

Inilah efek psikologis propaganda jangka panjang — rakyat dipaksa merasa tidak berdaya, bahkan ketika mereka sebenarnya mampu.

Dan dari situ lahir fenomena tragis: orang pura-pura miskin untuk dapat bantuan, meski sebenarnya sudah mapan.

Juday dari Bansos: Bukti Rusaknya Tujuan Awal

Lebih parah lagi, 500.000 penerima bantuan sosial menurut data Kementerian Sosial diketahui menggunakan uangnya untuk juday online.

Ini bukan sekadar penyimpangan moral, tapi bukti nyata bahwa bansos gagal mencapai tujuannya — mensejahterakan rakyat miskin.

Uang negara yang seharusnya memperbaiki kualitas hidup justru memperparah lingkaran kemiskinan dan kebodohan finansial.

Karena tanpa pendidikan, bansos hanya menjadi candu.

Solusi Alternatif: Dari Bansos ke Pendidikan Finansial dan Kemandirian

Alih-alih menggelontorkan Rp500 triliun untuk bantuan tunai, gunakan untuk pendidikan finansial.

Bukan pendidikan formal, tapi pendidikan praktis tentang bagaimana menghasilkan, mengelola, dan mengembangkan uang.

Pemerintah bisa menggandeng influencer ekonomi untuk melatih masyarakat lewat sistem pelatihan nasional.

Program 6 bulan di tiap RT dan RW yang mengajarkan:

- Cara mencari penghasilan,

- Cara mengelola keuangan,

- Cara menguasai aset produktif.

Dengan begitu, masyarakat tak hanya bertahan, tapi bisa mandiri secara finansial.

Edukasi Digital: Revisi Algoritma, Bangun Bangsa Melalui Konten

Langkah visioner lain yang disarankan: mengubah algoritma YouTube Indonesia.

Setidaknya 70% konten nasional harus berisi materi edukatif dan finansial, bukan sekadar hiburan dangkal atau konten joget.

Karena di era digital, media sosial adalah ruang belajar publik.

Jika ruang itu diisi hal bermanfaat, maka pendidikan bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat — dari kota besar hingga pelosok desa.

Dari Rakyat Penerima Jadi Rakyat Mandiri

Tidak ada orang jadi kaya karena bansos. Tapi banyak yang makin miskin karena terbiasa diberi.

Bansos seharusnya bersifat sementara, bukan permanen.

Karena kemiskinan tidak akan pernah hilang jika yang diberi hanya uang, bukan ilmu.

Pendidikan adalah investasi terbaik — bukan cuma untuk individu, tapi untuk masa depan bangsa.

Dan selama rakyat masih merasa tidak berdaya, pihak yang berkuasa akan selalu punya alasan untuk memberi, bukan membebaskan.

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia