Akar Konflik Kamboja Thailand dan Perang Perbatasan Asia-Afrika: Warisan Kolonialisme yang Belum Usai

Bayangkan sebuah peta dunia di abad ke-19. Di atas meja panjang, orang-orang Eropa menggambar garis-garis lurus untuk menentukan batas negara yang bahkan belum mereka kunjungi. 

Garis Lurus di Peta, Tapi Luka Tak Pernah Lurus: Warisan Kolonialisme di Asia dan Afrika

Hanya penggaris, pena, dan ambisi kekuasaan. Hasilnya? Konflik perbatasan seperti Kamboja–Thailand, India–Pakistan, Ethiopia–Eritrea, hingga Papua–Papua Nugini yang masih menyisakan luka hingga sekarang.

Fenomena ini sebagai “nasionalisme yang belum selesai.” Negara-negara Asia dan Afrika boleh merdeka secara politik, tapi batas wilayah, identitas etnis, bahkan rasa kebangsaan mereka sebagian besar dibentuk oleh tangan asing.

Kasus Kamboja dan Thailand: Dua Peta, Dua Versi, Satu Masalah

Mari kita tengok ke Asia Tenggara. Konflik Kamboja–Thailand yang sering muncul di berita internasional sebenarnya punya akar jauh ke masa kolonial Prancis.

Ketika Prancis menjajah wilayah Indochina (Vietnam, Laos, Kamboja), mereka membuat perjanjian batas dengan Siam (Thailand) pada tahun 1904 dan 1907. Masalahnya, dua peta hasil perjanjian itu berbeda versi.

Thailand memegang peta tahun 1904, sementara Kamboja mengklaim versi 1907.

Akibatnya, kuil Preah Vihear—yang pintu masuknya berada di Thailand tapi bangunannya di Kamboja—jadi simbol kekonyolan kolonialisme.

Orang Thailand tidak bisa masuk karena kuilnya berada di luar negeri, dan orang Kamboja tidak bisa masuk karena jalannya ada di Thailand.

Sebuah ironi yang diwariskan Prancis, dan sampai sekarang masih menimbulkan ketegangan bersenjata di perbatasan.

Konflik Serupa: Dari Sipadan–Ligitan Hingga Kashmir

Fenomena “garis buatan penjajah” bukan hanya milik Kamboja dan Thailand.

Kita bisa melihatnya dalam sengketa Sipadan–Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, Kashmir antara India–Pakistan, bahkan perbatasan Sudan dan Sudan Selatan.

Semua kasus itu punya pola serupa: perbatasan dibuat tanpa melibatkan penduduk lokal.

Ketika penjajah pergi, garis-garis di peta berubah menjadi bom waktu.

Negara-negara baru mewarisi peta lama, tapi tanpa pemahaman budaya dan sejarah di baliknya.

Nasionalisme yang Belum Tuntas di Asia dan Afrika

Nasionalisme di Asia dan Afrika tidak lahir dari kesadaran internal, tapi dari kepentingan kolonial.

Wilayah, etnis, bahkan sistem politiknya ditentukan oleh penjajah.

Contohnya, India dan Pakistan dibentuk oleh Inggris hanya karena ingin memisahkan umat Hindu dan Muslim.

Padahal di lapangan, banyak masyarakat yang hidup berdampingan secara damai.

Akibat pemisahan itu, jutaan orang harus mengungsi. Banyak yang terbunuh dalam kekacauan pasca-pemisahan tahun 1947.

Bahkan hingga kini, Kashmir masih menjadi luka terbuka yang diwariskan Inggris.

Dari Israel–Palestina hingga Papua Nugini: Skenario yang Sama, Aktor yang Berbeda

Konflik Israel–Palestina juga memiliki akar serupa. Inggris pada tahun 1915 membuat janji kepada bangsa Arab bahwa mereka akan mendapat kemerdekaan setelah kekhalifahan Ottoman jatuh.

Namun, dua tahun kemudian Inggris menandatangani Deklarasi Balfour (1917) yang menjanjikan tanah yang sama kepada bangsa Yahudi.

Dua janji untuk satu wilayah — dan hasilnya adalah konflik berkepanjangan selama lebih dari seabad.

Skema serupa terlihat di Papua, di mana Belanda dan Inggris membagi pulau itu dengan garis lurus seolah memotong kue.

Tak peduli suku, bahasa, atau budaya. Yang penting wilayah koloninya jelas.

Peta yang Tidak Rasional: Garis Lurus Afrika dan Asia

Kalau baraya pernah memperhatikan peta Afrika, banyak batas negaranya yang terlihat seperti digambar dengan penggaris.

Lihat saja Libya, Mesir, Mali, Niger, dan Chad.

Garis-garis lurus itu bukan hasil kesepakatan masyarakat lokal, melainkan hasil “dil-dilan” antara Inggris, Prancis, dan Belgia.

“Kita ini seperti tinggal di rumah yang denahnya dibuat orang lain.”

Dan benar saja, ketika rumah itu ditinggalkan penjajah, penghuninya berebut ruang — karena mereka bahkan tidak pernah sepakat di mana batas dapur dan halaman.

Indonesia dan Malaysia: Saudara yang Dipisahkan oleh Peta Penjajah

Dulu, Nusantara adalah satu kesatuan budaya dan politik — disebut Mandala atau wilayah Nusantara. Majapahit, Sriwijaya, hingga Singosari pernah berupaya menyatukannya.

Namun ketika Inggris menjajah Semenanjung Malaya dan Belanda menguasai Hindia Timur, wilayah yang dulunya satu rumpun berubah jadi dua negara: Malaysia dan Indonesia.

Lihat saja suku Minang. Banyak yang kini menjadi warga Malaysia, padahal akar budayanya sama dengan Sumatera Barat.

Itu karena Inggris dan Belanda membagi Kalimantan dan Semenanjung berdasarkan kepentingan dagang, bukan etnis atau sejarah.

Neokolonialisme dan Neoimperialisme: Penjajahan Gaya Baru

Ketika perang dunia usai, kolonialisme klasik dianggap usang. Negara-negara Eropa lalu berganti strategi menjadi neokolonialisme — menjajah tanpa tentara, tapi lewat ekonomi, teknologi, dan utang.

“penjajahan tanpa darah tapi tetap berdarah-darah.”

Negara-negara Asia dan Afrika memang merdeka di atas kertas, tapi ketergantungan ekonomi terhadap Barat membuat mereka tetap dalam kendali sistem global.

Itulah bentuk penjajahan baru: bukan dengan senjata, melainkan dengan kesenjangan.

Ironi di Abad Modern: Masih Bertengkar Karena Garis Lama

Ironisnya, konflik seperti Kamboja–Thailand, India–Pakistan, dan Israel–Palestina masih terus berulang di abad ke-21.

Padahal teknologi dan diplomasi sudah jauh lebih maju.

Namun yang tidak berubah adalah mentalitas warisan kolonial — curiga, serakah, dan tak percaya pada tetangga.

“Kita masih gagal mendefinisikan siapa diri kita dan di mana rumah kita.”

Karena selama batas wilayah ditentukan oleh tangan asing, maka perdamaian hanyalah bayangan.

Menutup Garis, Membuka Kesadaran

Jika nasionalisme Asia dan Afrika ingin benar-benar matang, maka yang perlu diselesaikan bukan hanya garis batas di peta, tapi garis batas dalam kesadaran.

Kesadaran bahwa kita lahir dari sejarah yang sama, luka yang sama, dan perjuangan yang sama melawan imperialisme.

“Merdeka sejati bukan ketika penjajah pergi, tapi ketika kita berhenti berpikir dengan pola pikir penjajah.”

Refleksi Akhir: Peta Dunia Masih Penuh Garis Absurditas

Konflik perbatasan Asia-Afrika hari ini — dari Nagorno-Karabakh hingga Preah Vihear — bukan sekadar soal siapa punya apa.

Ia adalah pengingat pahit bahwa peta dunia masih menyimpan dosa sejarah. Dan selama luka itu belum disembuhkan, setiap garis bisa menjadi bara.

Maka barangkali, tugas terbesar generasi hari ini bukan menggambar ulang peta, tapi menghapus cara pandang yang diwariskan kolonialisme.

Comments

Popular posts from this blog

Nyamankah dengan Gaji Customer Service Call Center Indonesia 2025

Kesalahan Grammar yang Bikin Malu: Bedain “Your” vs “You’re” dan “Its” vs “It’s”, Yuk!

Belajar Ngomong Inggris Lebih Lancar ala Call Center Indonesia