Realita Pahit Dunia Call Center Indonesia: Capek, Tapi Banyak yang Tetap Bertahan
Kerja di dunia call center bukan cuma soal ngobrol sama pelanggan atau duduk di depan komputer berjam-jam. Di balik itu semua, ada sederet tantangan yang kadang bikin orang mikir dua kali buat bertahan. Tapi anehnya, banyak juga yang tetap bertahan bertahun-tahun di industri ini. Kenapa?
Shift Malam Bikin Badan Ambyar
Salah satu tantangan paling umum ya shift malam. Bukan cuma soal begadang, tapi lebih ke gimana tubuh jadi susah kompromi. Manusia dasarnya makhluk siang, jadi kalau pola hidup dipaksa berubah—kerja malam, tidur siang—otomatis ritme tubuh ikutan kacau. Dan jangan salah, mood, kesehatan, sampai performa kerja bisa ikut terganggu.
Ada yang beruntung dapat shift siang. Tapi buat sebagian besar, rutinitas berubah-ubah antara shift siang dan malam bisa bikin tubuh dan mental kelimpungan.
Waktu Istirahat Kadang Cuma Mimpi
Dalam kerjaan lain, biasanya masih ada jeda antar tugas. Tapi di call center? Jangan harap. Selesai satu call, satu detik kemudian udah ada pelanggan lain yang masuk. Lagi-lagi, nggak ada ruang buat napas panjang, bahkan ke toilet aja kadang harus ditahan. Kalau lagi parah, jam istirahat pun bisa molor karena antrian nggak kunjung selesai.
Makanya nggak sedikit yang nyebut kerja di call center kayak "perbudakan zaman modern." Terdengar ekstrem, tapi kalau sudah ngalamin, rasanya memang mirip-mirip.
Konsumen Marah Itu Menguras Emosi
Menangani pelanggan yang marah bisa jadi momok tersendiri. Meski mereka mungkin cuma 20-25% dari total pelanggan, efeknya bisa berbekas lama. Nggak jarang, setelah pulang kerja pun masih kepikiran. Tapi kabar baiknya, seiring waktu, daya tahan mental biasanya makin kuat. Meski nggak sepenuhnya kebal, setidaknya bisa lebih tenang saat menghadapi pelanggan semacam itu.
Triknya? Validasi emosi dulu sebelum kasih solusi logis. Kalau langsung ngomong pakai logika, bisa-bisa pelanggan makin naik darah.
Multitasking? Otak Bisa Kebakar
Buat yang kerja di chat support, biasanya pegang 4–5 chat sekaligus. Multitasking memang jadi skill wajib, tapi ternyata nggak bagus buat otak. Ada riset yang bilang multitasking justru bikin fungsi otak menurun. Jadi walau kelihatan produktif, dampaknya nggak sepenuhnya positif.
Kalau kamu kerja di bagian email, mungkin lebih santai. Tapi jangan senang dulu—mata bakal jadi korban karena harus menatap layar terus menerus.
Target dan Statistik: Tekanan Tambahan
Setiap call center punya target yang harus dicapai, entah itu durasi bicara maksimal, kepuasan pelanggan, atau jumlah penjualan. Misalnya, ada akun yang nargetin satu call maksimal 7 menit. Kalau lebih dari itu, harus dikompensasiin dengan call lain yang lebih singkat.
Dan ada juga sistem rating dari pelanggan. Sayangnya, rating ini kadang nggak adil. Masalah dari sistem atau perusahaan tetap bisa bikin agen dapat nilai rendah, meskipun bukan salah mereka.
Pindah Karier? Makin Lama, Makin Berat
Satu hal yang perlu diingat—semakin lama kamu kerja di call center, makin susah juga buat pindah ke bidang lain. Apalagi kalau punya gelar yang sebenarnya bisa dipakai di profesi lain. Misalnya, lulusan keperawatan yang akhirnya kerja di call center, lama-lama bisa kehilangan pengalaman klinis. Begitu mau balik ke dunia kesehatan, saingan udah lebih unggul.
Tapi buat yang belum yakin mau ke mana, call center bisa jadi tempat sementara sambil cari arah hidup. Minimal, dapat penghasilan dan pengalaman yang bisa dibawa ke mana-mana nanti.
Beda Akun, Beda Derita
Ada akun yang kerjaannya santai, nggak banyak antrean, pelanggan juga ramah-ramah. Tapi ada juga yang tiap hari kayak neraka, penuh antrean dan keluhan. Makanya penting banget buat cari tahu dulu sebelum masuk ke satu akun—tanya ke orang dalam, riset di forum, baca review. Jangan asal terima tawaran kerja.
Kalau bisa, cari akun yang sesuai preferensi: pengen shift siang? Pengen beban kerja ringan? Cari akun dengan antrean minim dan CSAT (customer satisfaction) yang nggak terlalu ketat.
Pilihan Ada di Tanganmu
Kerja di call center punya plus minusnya sendiri. Nggak semua orang cocok, tapi nggak berarti semua orang harus menghindar. Kadang, kondisi ekonomi, latar belakang pendidikan, atau sekadar cari pengalaman bisa jadi alasan masuk ke industri ini.
Yang penting, jangan langsung menghakimi pilihan orang lain. Nggak semua orang punya privilese buat ngejar passion atau kerja sesuai jurusan. Buat sebagian, call center adalah pintu keluar dari pengangguran. Dan itu pun bukan hal yang salah.
Comments
Post a Comment